Persaingan Usaha di Sektor Telekomunikasi Harus Diatur Tegas, Kenapa?
Hide Ads

Persaingan Usaha di Sektor Telekomunikasi Harus Diatur Tegas, Kenapa?

Anggoro Suryo Jati - detikInet
Senin, 28 Des 2020 17:33 WIB
BARCELONA, SPAIN - FEBRUARY 27:  A 5G sign is pictured at the Quantum stand during the Mobile World Congress (MWC), the worlds biggest mobile fair, on February 27, 2018 in Barcelona. The Mobile World Congress is held in Barcelona from February 26 to March 1.(Photo by Miquel Benitez/Getty Images)
Foto: Miguel Benitez/Getty Images
Jakarta -

Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Sektor Pos, Telekomunikasi, dan Penyiaran (RPP Postelsiar) memuat aturan kerja sama penggunaan spektrum frekuensi radio untuk penerapan teknologi baru berupa 5G.

Namun kerja sama atas spektrum frekuensi radio sebagai alat produksi strategis dalam industri telekomunikasi memunculkan risiko terjadinya pengaturan alat produksi dan kolusi. Jika tidak diatur dengan baik, dapat berakibat timbulnya monopoli yang dapat berujung pada persaingan usaha tidak sehat.

Melihat potensi adanya monopoli dari kerja sama atas spektrum frekuensi radio ini Riant Nugroho Direktur Rumah Reformasi Kebijakan, menilai peran Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menjadi sangat krusial.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurut Riant, monopoli tersebut tidak semuanya salah. Ada beberapa kondisi yang memang memerlukan terjadinya monopoli. Monopoli karena hukum terjadi disebabkan adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur suatu pasar. Tujuannya adalah untuk melindungi kepentingan masyarakat yang lebih luas.

Monopoli karena perundang-undangan bisa dilihat dalam penyediaan infrastruktur publik seperti listrik yang dimonopoli oleh PLN, BBM yang dimonopoli oleh Pertamina dan air yang dimonopoli oleh PDAM. Namun ada juga monopoli yang terjadi secara alami.

ADVERTISEMENT

Sebagai contoh, di suatu wilayah hanya terdapat satu operator telekomunikasi, sedangkan operator telekomunikasi lain tidak melayani daerah tersebut karena berbagai pertimbangan ekonomi dan operasional. Selain itu, terdapat pula monopoli yang terjadi karena lisensi.

Contohnya adalah perusahaan farmasi yang berhasil menemukan ramuan obat mendapatkan lisensi atau paten atas penemuan tersebut. Lisensi atau paten tersebut adalah bentuk insentif dari pemerintah atas inovasi. Seperti diketahui, research and development tersebut membutuhkan waktu, tenaga, serta biaya yang tidak sedikit.

Namun, Riant tidak memungkiri juga, terdapat monopoli yang sengaja dibentuk untuk menghasilkan keuntungan sebagian pihak saja. Monopoli jenis ini biasanya terbentuk dari merger, akuisisi, dan/atau kolusi yang tujuannya tidak lain untuk mengatur alat produksi. Ujungnya, pihak yang memonopoli dapat menentukan harga pasar sesukanya.

"Yang dikhawatirkan itu bukan kondisi monopoli, tetapi praktik monopoli. Di UU 5/1999 sudah dijelaskan bahwa monopoli adalah suatu kondisi, sedangkan praktek monopoli adalah suatu kegiatan pemusatan kekuatan ekonomi sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum." terang Riant.

Terbatasnya ketersediaan spektrum frekuensi radio untuk penerapan 5G dan kebutuhan bandwidth yang besar memerlukan pengaturan khusus dari pemerintah. Menurut Riant, penguasaan frekuensi 5G untuk satu operator bisa menjadi salah satu alternatif pengaturan yang dapat dipertimbangkan Pemerintah.

"5G itu perlu spektrum frekuensi 100 MHz dan contiguous. Kalau spektrum frekuensinya dipecah-pecah kemudian disebar ke seluruh operator, maka 5G tidak akan terlaksana." jelas Riant.

Operator lain yang tidak mendapatkan alokasi spektrum frekuensi radio dapat bekerja sama dengan operator 5G yang mendapat alokasi spektrum frekuensi. Maksud kerja sama ini baik, yaitu memungkinkan terselenggaranya layanan 5G di Indonesia demi mendukung transformasi digital nasional.

"Dalam beberapa kondisi tertentu, monopoli tidak bisa dihindari. Yang perlu diantisipasi adalah praktek monopoli dan tindakan penyalahgunaan posisi monopoli yang merugikan masyarakat." papar Riant.

Selain kerja sama penggunaan spektrum frekuensi radio, ada beberapa pengaturan lain sebagai kebijakan publik dalam RPP Postelsiar yang dinilai Riant akan berdampak terhadap persaingan usaha. Beberapa pengaturan tersebut adalah penerapan tarif batas atas dan/atau tarif batas bawah, kerja sama infrastruktur aktif, serta pengalihan hak penggunaan spektrum frekuensi radio.

Agar Kominfo tidak menghadapi berbagai perdebatan dan tuntutan di kemudian hari, mantan KRT BRTI ini menyarankan keterlibatan KPPU dimulai sejak dari awal.

"Keterlibatan KPPU harus diatur agar bersifat pre-evaluation bukan post-evaluation. Tujuannya untuk mencegah pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab mempermasalahkan keputusan Kemenkominfo di kemudian hari," terang Riant.

Agar praktik monopoli dan percaloan lisensi tidak terjadi di industri telekomunikasi, menurut Riant selain melibatkan KPPU, Pemerintah perlu membuat badan regulator telekomunikasi yang independen. Sebab saat ini regulator telekomunikasi di Indonesia sudah dibubarkan oleh Presiden.

Jika badan regulasi tidak dibentuk, menurut Riant kebijakan yang dibuat oleh pemerintah dapat dimanfaatkan oleh pelaku usaha yang nakal.

"Bisnis telekomunikasi ini melibatkan dana yang sangat besar. Oleh sebab itu peran KPPU dan badan regulator telekomunikasi yang independen sangatlah penting. Jika industri telekomunikasi sehat maka masyarakat dan negara yang akan diuntungkan," tutup Riant.