Ketersediaan Frekuensi Jadi Tantangan Penggelaran Jaringan 5G
Hide Ads

Ketersediaan Frekuensi Jadi Tantangan Penggelaran Jaringan 5G

Anggoro Suryo Jati - detikInet
Minggu, 27 Des 2020 09:18 WIB
Ilustrasi 5G
Foto: Huawei
Jakarta -

Pada media up date beberapa waktu yang lalu, Director & Chief Technology Officer XL Axiata, I Gede Darmayusa, mengakui ketersediaan frekuensi dan regulasi masih menjadi tantangan dalam menggelar jaringan 5G.

Lanjut Gede, teknologi generasi ke 5 ini memiliki karakteristik berbeda dengan 4G. 5G membutuhkan investasi yang besar dan 'haus' akan bandwidth. Sehingga XL mulai memikirkan untuk dilakukannya spectrum sharing untuk teknologi baru.

Apa yang dikatakan Gede sejalan dengan kajian yang dimiliki Riant Nugroho Direktur Rumah Reformasi Kebijakan. Menurutnya jika masyarakat Indonesia ingin mendapatkan true 5G, maka setiap operator membutuhkan bandwidth minimal 100 Mhz dan contiguous.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Permasalahannya, saat ini tidak tersedia spektrum frekuensi 100 MHz yang bersifat contiguous, kecuali di frekuensi 2600Mhz yang saat ini masih belum optimal untuk mendukung transformasi digital. Padahal ekosistem 5G di dunia untuk frekuensi 2600Mhz sudah terbentuk.

"Karena keterbatasan spektrum frekuensi radio untuk 5G makanya UU Cipta Kerja membuka spectrum sharing terbatas untuk penerapan teknologi baru. Seluruh sumber daya frekuensi yang ada harus dioptimalkan untuk mendukung penerapan teknologi baru guna mendukung transformasi digital. Semangat di UU Cipta Kerja harus diturunkan secara lurus dan sinkron ke RPP Postelsiar yang sekarang ini sedang dibahas," terang Riant.

ADVERTISEMENT

Lebih lanjut, Riant menyoroti adanya pengaturan di RPP Postelsiar yang membatasi cakupan spectrum sharing untuk penerapan teknologi baru. Menurut pakar kebijakan publik ini, Pasal 49 ayat 1 seharusnya juga membolehkan spectrum sharing untuk penerapan teknologi baru yang dilakukan di seluruh wilayah layanan dan seluruh pita yang tercantum di IPFR (Izin Pita Frekuensi Radio).

"Kerja sama spektrum frekuensi radio ini kan untuk penerapan 5G. Kalau tidak boleh di seluruh wilayah dan di seluruh pita IPFR maka skala keekonomisan tidak akan tercapai. Yang dapat menikmati layanan 5G hanya masyarakat di sebagian wilayah. Dan yang harus diingat 5G itu memerlukan investasi yang besar. Kalau seperti ini, dapat dipastikan penggelaran 5G tidak akan optimal," jelas Riant.

Melihat akan hal ini mantan KRT BRTI meminta Pemerintah sebagai regulator tidak bisa menggunakan pendekatan lama dalam alokasi spektrum frekuensi radio. Riant berkeyakinan ketika pemerintah berbicara tentang 5G maka pola alokasi spektrum frekuensi yang digunakan pun pasti berbeda dengan apa yang diterapkan untuk 4G.

"Kebutuhan 5G itu 100 MHz contiguous, ya tidak mungkin dialokasikan 10 MHz - 20 MHz per operator, kemudian disuruh operator atur sendiri sesama mereka. Saya yakin pemerintah tidak akan mengambil kebijakan tersebut karena itu bukan kebijakan publik yang tepat," papar Riant.

Alokasi spektrum frekuensi untuk 5G harus berupa pita yang lebar mendekati 100 MHz untuk satu operator. Operator yang mendapat alokasi spektrum frekuensi adalah mereka yang betul-betul memiliki kemampuan menggelar infrastruktur 5G. Konsekuensinya tentu hanya ada satu atau beberapa operator saja yang mendapatkan alokasi spektrum 5G.

Operator lain yang tidak mendapatkan alokasi pita spektrum frekuensi dapat bekerja sama secara wholesale dengan operator yang mendapatkan alokasi spektrum frekuensi 5G. Tentunya kerja sama tersebut dapat dilakukan di seluruh wilayah layanan dan di seluruh pita dalam IPFR. Skema seperti ini sudah diadopsi di Singapura.

"Penerapan 5G sebagai teknologi baru harus efisien. Saya fikir tidak semua operator akan dapat alokasi spektrum frekuensi 5G. Seperti di Singapura, operator yang mendapatkan alokasi spektrum frekuensi 5G dapat membuka kerja sama wholesale dengan operator lain yang tidak mendapatkan alokasi spektrum. Kebijakan tersebut perlu rasanya kita pertimbangkan," tutup Riant.




(asj/asj)