Menyoal Spectrum Sharing di Omnibus Law
Hide Ads

Menyoal Spectrum Sharing di Omnibus Law

Anggoro Suryo Jati - detikInet
Sabtu, 17 Okt 2020 19:45 WIB
Menara BTS dan Antena TV. 
dikhy sasra/ilustrasi/detikfoto
Ilustrasi BTS (Foto: Dikhy Sasra/detikcom)
Jakarta -

Spectrum sharing, atau berbagi spektrum untuk operator seluler, adalah salah hal di ranah teknologi yang dibahas di Omnibus Law. Jadi seperti apa?

Menurut Ahmad Alamsyah Saragih, Komisioner Ombudsman Republik Indonesia, masalah spectrum sharing ini sebelumnya kerap kali menimbulkan kegaduhan. Karena ada pro kontra di pihak operator, ada yang setuju namun ada juga yang tak setuju.

"Di dalam UU Cipta Kerja kluster Pos dan Telekomunikasi sudah memberikan kepastian spektrum sharing. Sebelumnya di dalam Undang-Undang 36 belum disebutkan. Di UU Cipta Kerja spektrum sharing diperbolehkan hanya untuk teknologi baru. Kalau itu saya setuju sekali dengan terobosan yang ada di UU Cipta Kerja," ujar Alamsyah.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Dengan diaturnya spektrum sharing untuk teknologi baru akan meningkatkan investasi di sektor TIK dan menjaga iklim usaha yang sehat. Saya apresiasi itu," tambahnya.

Selain itu, aspek lain yang juga menjadi perhatian Alamsyah dari regulasi telekomunikasi adalah kepastian pembangunan jaringan telekomunikasi di daerah terpencil, terluar, dan tertinggal (3T), yang selama ini menjadi kendala

ADVERTISEMENT

Menurut Alamsyah, di dalam Omnibus Law yang baru disahkan tersebut, pembangunan sarana dan prasarana telekomunikasi di daerah 3T mendapat perhatian khusus dari Negara.

Pemerintah mendorong kerja sama pemanfaatan infrastruktur pasif yang adil, wajar, dan non diskriminatif dalam penyediaan layanan telekomunikasi, tentunya dengan tetap mengedepankan kesepakatan bisnis dan mempertimbangkan pemanfaatan jangka panjang.

Dengan adanya regulasi yang non diskriminatif tersebut, Alamsyah berharap masyarakat di kawasan dan gedung, yang selama ini tidak bisa memilih penyelenggara telekomunikasi karena dimonopoli oleh penyelenggara telekomunikasi yang berafiliasi dengan pemilik Kawasan dan gedung, nantinya akan memiliki banyak pilihan penyelenggara layanan telekomunikasi.

Omnibus Law di sektor Pos dan Telekomunikasi juga membahas mengenai peran Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam memberikan fasilitas dan/atau kemudahan kepada penyelenggara telekomunikasi untuk melakukan pembangunan infrastruktur telekomunikasi.

Dengan adanya aturan tersebut Alamsyah berharap nantinya Pemerintah Pusat atau Pemda dapat membangun sarana dan prasarana telekomunikasi dengan menetapkan retribusi atau sewa dengan harga yang wajar bagi seluruh pelaku usaha telekomunikasi.

"Saya berharap nantinya penetapan retribusi dan sewa ini harus berkonsultasi dengan kementerian teknis. Ini harus tertuang dalam PP. Tujuannya untuk meminimalisir retribusi dan sewa yang tinggi atas barang dan lahan milik Negara seperti yang dilakukan oleh beberapa Pemerintah Kota," terang Alamsyah.

Dalam Omnibus Law juga diatur mengenai sharing infrastruktur aktif melalui skema kerja sama dan kesepakatan para pihak dengan tetap memperhatikan quality of service (QoS) serta redundancy jaringan telekomunikasi.

Alamyah berharap nantinya PP sebagai turunan regulasi Omnibus Law dapat mengatur secara rinci aturan main dari sharing infrastruktur aktif ini. Sehingga berbagi jaringan aktif ini disamping menjunjung tinggi iklim persaingan usaha yang sehat, juga tetap memastikan adanya jaringan alternatif sebagai back up. Tujuannya agar layanan telekomunikasi tetap berfungsi meskipun jaringan utama mengalami gangguan.

"PP juga harus dipastikan kewajiban bagi operator yang melakukan sharing infrastruktur aktif ini untuk tetap memenuhi komitmen pembangunan dan mendukung perluasan cakupan layanan telekomunikasi yang saat ini sangat dibutuhkan masyarakat dalam menghadapi kondisi normal baru," ujar Alamsyah.

Untuk menghindari industri telekomunikasi semakin terpuruk akibat perang harga, Omnibus Law mengatur mengenai tarif batas bawah. Alamsyah berpendapat, penetapan tarif batas bawah yang memperhitungkan total cost memberikan jaminan pengembalian modal yang wajar bagi operator telekomunikasi, sehingga operator telekomunikasi dapat meningkatkan kualitas layanan serta melakukan investasi perluasan cakupan layanan.

"Saya sangat mengapresiasi niat pemerintah untuk memperbaiki industri telekomunikasi. Itu namanya safety net. Kompetisi antar operator telekomunikasi diperbolehkan. Cuma nantinya Negara dapat turun tangan ketika persaingan itu berpotensi menimbulkan kerugian jangka panjang," jelasnya.

"Selama ini operator berbisnis portofolio. Keuntungan mereka bukan berasal dari bisnis telekomunikasi tetapi dari kenaikan harga saham. UU Cipta Kerja ini mengembalikan industri telekomunikasi ke rel yang benar. Pengaturan harga batas bawah ini menurut saya bagus," terang Alamsyah.

Cuma kelemahan Omnibus Law kluster Pos dan Telekomunikasi adalah belum mengatur secara rinci mengenai pengaturan spektrum radio untuk penyiaran. Contoh frekuensi untuk penyiaran terestrial dan satelit TV berbayar yang selama ini utilisasinya dan pemasukan ke negara sangat rendah. Komisioner Ombudsman ini sangat berharap nantinya pemerintah dapat segera mengatur penggunaan frekuensi untuk broadcasting dan untuk broadband.

"Tadinya saya sangat berharap pengaturan terhadap frekuensi broadcasting dan satelit TV berbayar dapat diatur rinci di UU Cipta Kerja. Tujuannya agar Pemerintah bisa segera mendapatkan digital dividen dari frekuensi yang idle. Setelah UU Cipta Kerja ini disahkan saya berharap pemerintah dapat mengatur tentang alokasi penggunaan frekuensi tersebut di PP," tutup Alamsyah.