Sekitar 80 kilometer menuju utara dari arah kota Merauke, atau kurang lebih sekitar dua jam perjalanan jika menggunakan mobil menuju Sota.
Yang jadi pertanyaan, apakah upaya itu sebanding dengan revenue yang diterima Telkomsel untuk melayani warga perbatasan Sota? Mari kita urai sama-sama.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jika setiap bulan solar yang dibutuhkan untuk mengisi genset yang menghidupi satu radio base station (BTS) di Sota sekitar 1.000 liter hingga 1.200 liter, itu artinya Telkomsel harus mengeluarkan biaya sekitar Rp 50 juta hingga Rp 120 juta. Itu belum termasuk biaya untuk operasional mobil dan lainnya.
Foto: Grandyos Zafna |
Sementara pelanggan yang dilayani operator itu di Sota hanya sekitar 300 sampai 500 warga saja. Dengan average revenue per user (ARPU) sekitar Rp 50 ribu, itu artinya Telkomsel hanya mengantungi pendapatan sekitar Rp 15 juta hingga Rp 25 juta saja.
Bisa dibilang, Telkomsel nombok cukup banyak untuk terus melayani warga perbatasan Sota. Pantas saja jika daerah ini kurang dilirik oleh operator lain selama bertahun-tahun.
Perbatasan di Sota ini bukan satu-satunya area yang musti membuat Telkomsel nombok dalam biaya operasional. Kabarnya, ada 20 ribu titik BTS lainnya yang statusnya 'merah' alias merugi di seluruh Indonesia.
Foto: Grandyos Zafna |
Namun itu tidak membuat Telkomsel mundur. Merasa punya kewajiban untuk melayani pelanggan sebagai operator seluler paling merah putih, kerugian itu tetap ditanggung perusahaan sebagai bukti keseriusan baktinya dalam melayani negeri.
Dari perbincangan tim Tapal Batas detikcom dengan Andi Muhlis, Manager NSA Timika, dan Ardhyo Adli, Manager Branch Timika, Telkomsel ternyata tak melakukan semuanya sendiri. Mereka juga menggandeng mitra lokal untuk operasional, mulai dari penyediaan genset, hingga distribusi pemasaran.
"Untuk genset, misalnya, ada yang genset punya kita, ada yang sewa ke mitra kita, sewa daya. Jadi kami tidak mikirin genset lagi, yang kita hitung berapa listrik yang masuk. Biayanya sekitar Rp 35 juta hingga Rp 45 juta per bulan," kata Andi.
Foto: Grandyos Zafna |
Untuk mengoperasikan genset, Telkomsel menggunakan solar industri. Biayanya memang lebih mahal karena bukan solar subsidi. Biaya ini tentunya akan terus dikeluarkan Telkomsel sampai Sota sudah punya aliran listrik nantinya.
"Solar masih diangkut pesawat, makanya mahal. Kalau lagi banyak, Rp 50 ribu per liter, kalau susah bisa Rp 100 ribu per liter. Kami pakai solar industri, non depo," ungkapnya lebih lanjut.
Solar itu pun dibawa langsung oleh tim jaringan Telkomsel dari kota Merauke menggunakan mobil. Mumpung lagi bersama mereka, detikcom pun coba mengiringi perjalanan mereka saat melakukan pengisian daya untuk genset di Sota.
Berikut cuplikan videonya:
(rou/rou)
Foto: Grandyos Zafna
Foto: Grandyos Zafna
Foto: Grandyos Zafna