Hal itu diucapkan oleh Ketua Dewan Pembina Asosiasi Perusahaan Nasional Telekomunikasi (Apnatel) Rahardjo Tjakraningrat saat ikut mengomentari polemik revisi kedua PP tersebut.
"Jika revisi kedua PP itu terjadi dimana biaya interkoneksi menjadi tak ideal dan adanya berbagi jaringan aktif (network sharing) yang wajib bagi semua operator, yang rugi itu bukan hanya Telkom, tetapi rakyat Indonesia," tegasnya di Jakarta, Selasa (1/11/2016).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalau revisi kedua PP itu terjadi, sudah pasti ada potensi pengurangan keuntungan Telkom. Ini artinya negara juga turun pendapatannya, kalau negara berkurang penghasilan, yang rugi di ujung siapa? Ya, rakyat Indonesia ini," tukasnya.
Menurutnya, penetapan biaya interkoneksi adalah wajar diterapkan asimetris untuk menghargai jerih payah masing-masing operator membangun jaringan.
"Ada yang bangun jaringan hingga pelosok, masa dikasih cost recovery sama dengan yang hanya bangun di perkotaan. Ini namanya tak adil," tegasnya.
Ditambahkannya, hal yang sama juga terjadi di konsep berbagi jaringan yang dipaksakan atau wajib bagi semua operator seperti yang dirancang dalam revisi kedua PP tersebut.
"Jika dilihat rekomendasi International Telecommunication Union (ITU) itu dibilang open access berlaku bagi infrastruktur yang dibangun pemerintah (public). Ini kok menjadi jaringan yang dibangun operator (Telkom) wajib dibuka. Ini mau berbagi atau numpang jaringan," sesalnya.
Diingatkannya, jika network sharing menjadi wajib, maka bisa melanggar persaingan usaha karena ada pemain yang dirugikan, sementara pemain lain menikmati keuntungan.
"Saya sarankan pemerintah jika mau ubah regulasi itu yang bikin industri makin kompetitif dan sehat. Kita ini kan Pancasila, jelas itu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Jadi, pahami dasar negara itu dalam membuat regulasi," tutupnya.
(rou/fyk)