Biaya interkoneksi merupakan salah satu komponen tarif ritel, selain biaya promosi atau produksi dan margin keuntungan. Ini menjadi biaya yang dibayarkan oleh tiap operator saat pelanggan menggunakan layanan berupa voice dan SMS.
Bagi Dian, penurunan tarif Interkoneksi yang signifikan bakal berpengaruh terhadap tarif retail yang nantinya dijatuhkan kepada pelanggan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia menambahkan, dengan turunnya tarif interkoneksi maka operator dapat lebih mudah berkreasi saat mengemas dan menawarkan paket bundling kepada pelanggan. Sebab, hal ini pasti ujung-ujung terkait dengan tarif.
"Kan tarif interkoneksi itu cost-nya kan, kalau retail itu tergantung operator, dia mau untung berapa, rugi berapa. Menurut saya sih, pemerintah kan cost based, kalau kita sudah pasti ke pelanggan jadi lebih memudahkan, kalau sekarang perbedaan banyak, kartunya kan juga lebih banyak," Dian memaparkan.
Penghitungan tarif interkoneksi sendiri seharusnya tuntas akhir 2015 lalu. Namun sampai sekarang masih belum menemui titik temu. Menkominfo Rudiantara pun masih belum memutuskan berapa angka penurunan yang pas untuk biaya terminasi trafik percakapan suara lintas operator dari angka sebelumnya Rp 250.
Saat ditemui detikINET dalam sejumlah kesempatan, menteri yang akrab disapa Chief RA itu menyampaikan harapan ada penurunan yang signifikan dari tarif interkoneksi ini. Tujuannya agar terjadi keseimbangan dan efisiensi industri, khususnya agar tarif telepon pelanggan ke operator lain jadi lebih murah.
"Saya sudah bicara dengan para analis, minimal biayanya bisa turun 10%. Tapi ini masih harus dibicarakan lagi. Kita harus bikin industri lebih efisien, biaya interkoneksi setiap dua tahun direview, sudah dua kali hanya single digit turunnya," jelas Rudiantara.
Sayangnya Rudiantara tidak menjelaskan lebih jauh mengenai keputusan penurunan tarif interkoneksi antar operator ini apakah berdasarkan pada kajian Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) atau tidak. Namun ia memastikan bahwa penurunannya harus signifikan, sesuai dengan kondisi industri saat ini.
"Tarif interkoneksi hanya merupakan rujukan, bukan keharusan. Kalau terjadi dispute, nanti mengacu pada regulasi. Tapi operator masing-masing boleh B2B (bisnis ke bisnis) dan semuanya punya rujukan yang sama," paparnya lebih lanjut.
Bisa dibilang, selisih biaya interkoneksi ini yang menjadi pendapatan bagi operator baik itu layanan sesama operator (on-net) atau ke lintas operator (off-net). Namun karena masih tingginya tarif interkoneksi, trafik percakapan suara masih didominasi oleh panggilan on-net 96% berbanding off-net yang hanya 4%.
"Kenapa interkoneksi harus signifikan turunnya, karena benefitnya harus dirasakan masyarakat. Dan tujuannya bukan hanya turunnya masalah terminating cost, tetapi bagaimana mendekatkan rasio antara off-net dan on-net. Kalau masih enam kali sampai delapan kali perbedaannya, itu men-discourage orang untuk telepon ke operator lain. Ini yang tidak sehat. Sehingga kalaupun turun, paling tidak beda tiga kali lipat masih okelah," jelas menteri.
Perhitungan biaya interkoneksi selama ini menggunakan metode perhitungan Bottom Up Long Run Incremental Cost (BU LRIC) dengan pendekatan Forward Looking. Sementara dengan penurunan minimal 10% (menjadi Rp 225) di mana batasan tersebut harus cukup signifikan, Rudiantara berharap revenue operator malah bisa bertambah nantinya -- dan bukannya jadi turun.
"Sebenarnya secara industri (jika tidak diturunkan tarif interkoneksinya) masing-masing operator akan menjadi kerdil. Besarnya hanya di dirinya sendiri (karena mengandalkan on-net). Dengan demikian, industrinya jadi besar, masyarakat juga jadi senang karena tarif turun," kata Rudiantara lagi. (ash/asj)