Kategori Berita
Daerah
Layanan
Detik Network
detikInet
Kolom Telematika
Interkoneksi untuk Kemakmuran Bangsa
Kolom Telematika

Interkoneksi untuk Kemakmuran Bangsa


Penulis: Muhammad Imam Nashiruddin, - detikInet

Foto: Ari Saputra
Jakarta - Lebih dari satu abad sejak telepon pertama kali masuk ke Indonesia, perkembangan industri telekomunikasi sangat lambat.

Setelah pada tahun 1961 didirikan PN Postel (kini bernama PT Telekomunikasi Indonesia), dilanjutkan dengan pendirian PT Indosat pada tahun 1967, kemudian diikutiΒ  beberapa perusahaan lain termasuk operator seluler yang seluruhnya berafiliasi dengan Telkom dan Indosat.

Tidak ada persaingan karena kedua perusahaan negara beroperasi di kavling masing-masing. Mengacu pada UU Nomor 3 Tahun 1989, maka diatur Telkom sebagai badan penyelenggara telekomunikasi domestik, Indosat sebagai badan penyelenggara telekomunikasi internasional dan selain itu diharuskan bekerjasama dengan badan penyelenggaraΒ  tersebut.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pada tahun 1999, salah satunya karena mengikuti desakan WTO dan IMF, terbitlah UU No. 36/1999 yang membawa Indonesia memasuki masa baru, persaingan bebas.

Meskipun Industri seluler sudah ada sejak awal 1990-an, namun sebagaimana industri telepon tetap, industri seluler tidak menemukan momentum perkembangan signifikan. Industri masih dikuasai negara (melalui Telkom dan Indosat sebagai badan penyelenggara), menjadi bagian dari fasilitas penting (utility). Baru setelah terbit UU 36/1999, industri telekomunikasi berubah total, menjadi komoditi yang menjadi kebutuhan.

Bagi generasi yang mengalami, tentu masih ingat suasana pada awal tahun 2000, dimana telepon rumah masih mendominasi. Wartel bertebaran, calon pengguna harus antre. Saat itu telepon seluler masih merupakan barang mewah. Harga ponsel masih mahal untuk ukuran saat itu. Tarif percakapan juga masih sangat memberatkan bagi pengguna. Internet hanya sayup-sayup didengar oleh sebagian kecil lapisan elite masyarakat.

Dewasa ini, wajah industri telekomunikasi telah berubah total. Industri telekomunikasi telah berkembang pesat dan dinamis. Dampaknya telah mengubah gaya hidup masyarakat Indonesia. Telepon rumah tidak lagi menjadi pilihan utama. Ponsel menjadi bagian dari keseharian, bukan hanya untuk berkomunikasi, namun juga gerbang untuk melihat dunia melalui internet. Salah satu pemicu awal dinamisnya industri telekomunikasi adalah perubahan peraturan tentang tarif pungut dan biaya interkoneksi.

Pada 2006, tujuh tahun sejak UU 36/1999, pemerintah kemudian menerbitkan peraturan baru tentang interkoneksi dan tarif pungut. Peraturan ini mengubah skema transaksi antar operator dalam berinterkoneksi dan tata cara penetapan tarif pungut kepada pelanggan.

Industri, khususnya seluler, segera bereaksi. Tak perlu waktu lama, tarif panggilan telepon turun drastis. Persaingan antar operator marak. Layar TV dipenuhi iklan yang mempromosikan produk terbaru. Investasi digelontorkan untuk membangun jaringan. Jumlah pemain terus bertambah.

Dinamisnya persaingan mendorong industri maju dengan cepat. Pendapatan operator naik, masyarakat memperoleh manfaat dan kontribusi PNBP dari industri meningkat signifikan. Namun, sepuluh tahun kemudian, ternyata persaingan yang sehat belum sepenuhnya terjadi.

Masih ada setidaknya ada tiga hal yang menunjukkan bahwa persaingan dalam industri telekomunikasi belum optimal. Pertama, terjadinya club-effect, kedua churn-rate yang tinggi, dan ketiga, belum meratanya pembangunan infrastruktur telekomunikasi.

Indikasi Persaingan Industri yang Tidak Sehat

Dalam industri telekomunikasi dikenal istilah club-effect. Operator bersaing keras dengan cara menawarkan tarif sangat murah untuk panggilan on-net (sesama operator), namun sama sekali tidak bersaing untuk panggilan off-net (antar operator). Inilah yang disebut sebagai club-effect, persaingan semu. Seolah-olah saling berlomba, namun ternyata hanya pada satu sisi.

Sisi lain, nyaman dengan tarif masing-masing yang luar biasa tinggi. Club-effect merupakan pertanda yang sangat nyata bahwa ada yang ada yang perlu diperbaiki di industri telekomunikasi Indonesia.

Sebelum tahun 2007, nyaris tidak dikenal istilah tariffΒ  on-net dan tarif off-net. Ketika regulasi baru diterbitkan pada tahun 2006, tarif pungut (secara keseluruhan, baik on-net maupun off-net) turun.

Tekanan persaingan akibat banyaknya jumlah operator semakin besar, namun biaya interkoneksi (terutama di seluler) masih tinggi. Industri memunculkan kreativitas baru untuk merespon hal tersebut.

Menurunkan tarif, tapi hanya untuk panggilan ke operator yang sama (on-net). Tarif antar operator (off-net) masih tetap tinggi karena biaya interkoneksi yang harus dibayarkan masih tinggi. Saat itulah perang tarif dimulai.

Perang tarif dan perang iklan marak, namun hanya terjadi untuk panggilan on-net. Tarif untuk panggilan lintas operator tidak lagi bergerak turun. Perilaku industri yang seperti itu direspon oleh masyarakat dengan menggunakan ponsel multi-SIM atau membawa lebih dari satu ponsel.

Pengguna layanan telekomunikasi menyesuaikan diri dengan 'permainan' operator untuk mendapatkan manfaat maksimal dari tarif on-net masing-masing operator dan menghindari tarif off-net yang kelewat mahal. Sampai saat ini perbedaan tarif on-net dan tarif off-net sangat signifikan, tarif off-net lebih dari sepuluh kali lipat tarif on-net.

Club effect memberikan insentif bagi operator untuk terus menambah jumlah pelanggan. Semakin banyak pelanggan, maka nilai dari promosi on-net operator akan semakin tinggi. Operator cenderung memberikan promosi terbaik hanya untuk kartu baru.

Pelanggan setia justru tidak mendapatkan manfaat maksimal. Operator menciptakan iklim menyebabkan churn-rate tinggi. Kartu hanya dipakai untuk mendapatkan penawaran terbaik sebagai pelanggan baru dan dibuang setelah manfaat tidak dapat dinikmati lagi. Industri yang seperti ini jelas tidak efisien. Puluhan bahkan mungkin ratusan juta kartu dibuang setiap tahun.

Operator sibuk dengan persaingan semu. Namun hingar bingar persaingan dan investasi mayoritas terjadi di Jawa dan kota-kota besar. Jaringan yang merata dengan kualitas yang bagus tidak dapat dinikmati di kota kecil, apalagi daerah terpencil. Masih banyak daerah yang hanya terjangkau oleh satu operator saja, tidak ada pilihan lain.

Hal ini terjadi bukan hanya karena faktor sejarah (ada operator memulai membangun dari luar Jawa), namun juga karena kemampuan operator untuk melakukan investasi sudah sangat menurun. Nafas operator sudah hampir habis untuk bersaing di Jawa.

Interkoneksi dan Tarif

Dalam telekomunikasi tradisional (komunikasi suara dan SMS melalui jaringan circuit switched), interkoneksi adalah satu-satunya cara agar pelanggan satu operator dapat berkomunikasi dengan pelanggan operator lain. Interkoneksi menjamin terjadinya komunikasi dari ujung ke ujung (end-to-end) dan dari mana saja ke mana saja (any-to-any).

Interkoneksi merupakan layanan yang diberikan oleh satu operator kepada operator lain. Operator yang tidak berinterkoneksi dengan operator lain tidak akan menjadi pilihan pelanggan.

Dalam interkoneksi, dikenal adanya layanan terminasi dan transit. Transit adalah penyaluran trafik dari suatu operator ke operator lain melalui operator ketiga yang berperan sebagai perantara penyalur trafik. Transit sangat umum dilakukan dalam telekomunikasi internasional dimana tidak semua operator dari berbagai negara saling terhubung secara langsung satu sama lain.

Transit juga terjadi untuk beberapa kasus interkoneksi antar operator domestik. Persaingan dapat terjadi dalam layanan transit. Operator pemilik trafik dapat memilih operator yang akan menyalurkan trafiknya untuk transit ke operator yang dituju, tergantung pada kesepakatan dan kondisi teknis di lapangan.

Terminasi adalah layanan interkoneksi yang berupa penyaluran trafik oleh operator di mana panggilan berakhir. Dengan kata lain, terminasi adalah penyaluran trafik oleh operator di mana nomor tujuan berada. Terminasi merupakan layanan yang bersifat monopoli.

Tidak ada cara lain untuk menyalurkan panggilan yang ditujukan kepada pelanggan operator A, selain disalurkan oleh operator A. Karena layanan terminasi bersifat monopoli, maka layanan sudah sewajarnya diatur dengan jelas oleh negara.

Selain monopoli (sehingga besaran tarif dan tata caranya harus diatur oleh negara), trafik terminasi merupakan akibat dari aktivitas yang dilakukan oleh operator lain. Penyediaan layanan terminasi lebih pada kewajiban untuk meneruskan panggilan.

Oleh sebab itu, pendapatan yang diperoleh operator dari terminasi bukanlah pendapatan utama. Operator membangun jaringan bukan dalam rangka menerima trafik terminasi dari operator lain, tapi untuk memperoleh pendapatan dari aktivitas yang dilakukan oleh pelanggannya sendiri.

Pemerintah di hampir semua negara dalam menetapkan biaya interkoneksi (terminasi) selalu menggunakan metodologi yang disebut LRIC (long run incremental costing), dengan berbagai variasinya.

Karena merupakan kewajiban yang bersifat monopolistis, maka biaya terminasi yang dibebankan kepada operator lain hanyalah biaya tambahan (incremental) yang muncul akibat adanya trafik interkoneksi.Β  Biaya-biaya lain yang pasti akan ditanggung oleh operator, dengan atau tanpa adanya trafik interkoneksi, tidak boleh dibebankan kepada operator lain.

Selain terkait dengan metodologi perhitungan yang seharusnya hanya membebankan biaya incremental kepada operator lain, biaya terminasi secara logika juga harus lebih murah dibandingkan biaya internal untuk menyelenggarakan panggilan on-net secara end-to-end.

Biaya terminasi dihitung sejak dari titik terjadinya keterhubungan fisik antar jaringan (titik interkoneksi) sampai ke nomor tujuan. Sedangkan biaya untuk panggilan on-net dihitung sejak dari awal panggilan sampai ke nomor tujuan. Biaya terminasi yang lebih tinggi dibandingkan biaya on-net sulit diterima akal sehat.

Pentingnya Peran Pemerintah

Tarif off-net di Indonesia saat ini lebih dari 10x tarif on-net. Biaya terminasi ke seluler, sekitar 3x dari tarifΒ  on-net operator. Dengan kata lain, operator membebani operator lain dengan biaya yang jauh lebih tinggi dari biaya internal operator tersebut (setidaknya 3x lipat).

Beban ini pada akhirnya harus dibayar oleh pelanggan berkali-kali lipat lagi dalam bentuk tarif off-net yang sangat mahal. Perilaku operator ini sudah terjadi bertahun-tahun. Operator mengambil keuntungan secara berlebihan untuk panggilan off-net, namun memberlakukan tarif murah (secara berlebihan juga) untuk on-net.

Inilah saatnya pemerintah mengambil sikap untuk memperbaiki industri. Dimulai dari penetapan biaya interkoneksi, terutama biaya terminasi.

Biaya terminasi merupakan batas bawah bagi operator dalam menetapkan tarif off-net. Biaya terminasi yang tinggi otomatis akan mengakibatkan tarif off-net yang tinggi.

Sedangkan batas bawah untuk tarifΒ  on-net adalah biaya internal masing-masing operator karena tidak ada komponen biaya tambahan yang harus dibayarkan kepada operator lain. Dari sini terlihat dengan jelas peran biaya terminasi dalam membentuk tarif pungut off-net.

Langkah perbaikan pertama yang harus segera ditempuh oleh pemerintah adalah menurunkan biaya interkoneksi (terutama terminasi) secara signifikan.

Saat ini operator menerapkan tarif on-net sepertiga dari biaya interkoneksi yang dibebankan kepada operator lain. Dalam menghitung tarif on-net, pasti operator mempertimbangkan biaya internalnya. Seandainya biaya internal operator sama dengan tarif on-net (yang artinya tidak ada keuntungan sama sekali), maka biaya biaya interkoneksi seharusnya di bawah tarif on-net operator tersebut.

Bisa saja operator berdalih 'jual rugi' untuk menarik pelanggan, namun mereka tidak akan mampu untuk melakukan terus menerus. Faktanya, tarif on-net yang jauh lebih rendah dari biaya interkoneksi sudah berjalan bertahun-tahun. Biaya interkoneksi saat ini sangat tidak rasional.

Menurunkan biaya interkoneksi secara signifikan (di bawah tarif on-net operator) baru merupakan langkah awal. Biaya interkoneksi yang murah akan mendorong batas bawah tarif off-net turun. Namun industri telekomunikasi sudah terlalu nyaman dengan kompetisi yang hanya pada layanan on-net. Penurunan biaya interkoneksi saja, belum cukup untuk mendorong tarif off-net turun. Tata cara pemberlakuan tarif on-net dan off-net juga harus di tinjau kembali.

Dengan biaya interkoneksi yang didorong rendah (oleh pemerintah), maka tarif off-net seharusnya sama atau mendekati tarif on-net. Ini akan memaksa operator menjadi lebih rasional dalam menerapkan harga. Ada resiko tarif on-net yang sudah sangat murah akan naik. Tapi tekanan persaingan akan 'mengontrol' perilaku operator sehingga tidak 'semena-mena' menaikkan dalam menaikkan tarif.

Dengan tarif yang lebih rasional, maka masyarakat tidak lagi dibuai dengan promosi bersyarat yang pada umumnya hanya berlaku pada pelanggan baru. Dampak jangka panjangnya adalah industri yang lebih sehat sehingga mampu untuk terus berinvestasi meningkatkan jangkauan dan kualitas layanan.

Dengan biaya interkoneksi yang rendah, maka operator tidak lagi fokus untuk memperoleh pendapatan sebanyak-banyaknya dari trafik terminasi. Tarif pungut yang lebih rasional juga akan menjadi insentif bagi pelanggan untuk lebih tertib dalam mendaftarkan identitas karena secara tidak langsung mengajak pelanggan untuk meninggalkan pola beli dan buang kartu.

Jika industri sehat, maka pada akhirnya masyarakat yang akan menikmati pemerataan jaringan telekomunikasi.

Penutup

Industri telekomunikasi saat ini sedang memasuki era baru. Layanan komunikasi suara dan pengiriman pesan melalui SMSΒ  yang semula menjadi andalan pendapatan operator sekarang sudah hampir tidak bertumbuh lagi.

Bukan berarti masyarakat tidak lagi perlu berbicara dan berikirim pesan, namun saluran yang digunakan berpindah. Layanan internet (data) yang semula menumpang pada jaringan yang di desain untuk suara (circuit switched), sekarang telah menjadi kebutuhan utama.

Bahkan layanan suara mulai menumpang ke jaringan yang didesain untuk menyalurkan data (packet switched). Cakupan jaringan dan kualitas layanan operator masih jauh dari sempurna. Industri perlu dibenahi.

Pembenahan itu perlu dimulai sekarang melalui peraturan tentang interkoneksi dan tarif yang berpihak pada kepentingan masyarakat demi kemakmuran bangsa.

**

Penulis adalah Anggota Komite Regulasi Telekomunikasi Bidang Bisnis & Ekonomi Mikro pada Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI). Dapat dihubungi melalui email: imam@brti.or.id. Tulisan merupakan pandangan pribadi dan tidak ada kaitannya dengan institusi terkait. (rou/rou)
TAGS





Hide Ads