Dalam surat edaran pajak No SE-62/PJ/2013 dan SE-06/PJ/2015, pemerintah akan mengenakan pajak atas transaksi di online marketplace, classified ads, daily deals dan online retail.
Ketua Umum Asosiasi e-Commerce Indonesia (idEA), Daniel Tumiwa berpendapat penerapan pajak baru mengancam iklim transaksi jual beli online di tanah air.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Bukan soal insentif pajaknya, kita (start-up) tidak mau dikecualikan kok. Tapi diberi kemudahan supaya nantinya banyak orang berniat buka e-commerce," kata pria berkacamata ini.
"Ini infant stage dan ada perkecualian sektor. Perkecualian sektor itu selalu ada di mana-mana. Yang kita perjuangkan adalah, bisa nggak sektor (startup) ini dikecualikan," imbuhnya.
Lebih lanjut Daniel mengharapkan pemerintah bisa membangun suasana yang cocok untuk pertumbuhan startup. Jangan sampai anak muda yang memiliki ide merintis startup justru mengembangkan idenya di negara lain.
Daniel pun mencontohkan misalnya ada anak ITB atau Binus yang baru akan mendirikan startup. Dalam 3-5 tahun, anak ini bukan tidak mungkin bisa menjadi sosok seperti William Tanuwijaya (pendiri Tokopedia). Nah dalam kurun waktu di atas 4-5 tahun sumbangan pajaknya akan jauh lebih besar bila dibandingkan jika dia dikenakan pajak hari ini, lalu besoknya malah tutup.
"Kalau misalnya aturan pajak baru jadi diberlakukan langsung, justru kami akan pertama bilang untuk tutup saja startup-nya. Jangan buka di Indonesia. Untuk apa? Nggak ada untungnya, baru buka saja langsung kena pajak," ujar Daniel.
"Kita nih ngomongin startup, boro-boro punya orang keaungan atau orang untuk lapor pajak. Paling isinya nggak sampai lima orang. Jadi, iklimnya memang harus dijaga," lanjutnya.
Karenanya, menurut Daniel, perlu adanya aturan yang jelas mengenai hal tersebut. Untuk itu, ia dan anggota idEA coba mengusulkan sejumlah aturan pajak e-commerce kepada pemerintah lewat Menkominfo Rudiantara. Diharapkan dapat membentuk ekosistem yang sangat baik kedepannya.
Rekomendasi yang diusulkan meliputi, pertama, perlunya penegasan dari Dirjen Pajak bahwa perlakuan transaksi penjualan online retail/eceran sama dengan transaksi penjualan eceran. Sehingga perlakuan atas Faktur Pajak Penjualan Online Retail dapat menggunakan Faktur Pajak yang dilaporkan secara gunggungan sesuai dengan pasal 6.b pada SE No 98/2010.
Penerapan Peraturan Pemerintah (PP) No 46/2013 yang mewajibkan pajak penghasilan ke pebisnis e-commerce yang memiliki omzet dibawah 4,8 miliar per tahun direkomendasikan idEA untuk tidak diberlakukan. Begitupula PPh 23 dibebaskan bagi e-commerce yang berdiri di bawah 5 tahun.
Selanjutnya, tidak perlunya ada pemeriksaan oleh Dirjen Pajak bagi perusahaan Startup e-commerce yang berdiri di bawah 5 tahun dan masih merugi. Penjual yang memiliki NPWP turut pula dibebaskan selama 3 tahun awal. Barulah setelah 3 tahun, penjual individu boisa memilih apakah ingin menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP) atau memakai aturan PP No 46/2013 dimana dikenakan pajak 1%.
Pihak idEA juga meminta pemerintah melakukan sosialisasi kewajiban mengeluarkan Faktur Pajak bagi penjual individu di situs merketplace. Serta perlu membuat database NPWP yang dapat diakses (melalui web service atau API) oleh penyelenggara transaksi online untuk kebutuhan verivikasi penjual.
Selain itu, idEA mengharapkan pemerintah melakukan edukasi untuk pemain e-commerce dalam menetapkan peraturan sesuai dengan bussiness model agar tidak salah dan mematikan industri e-commerce yang baru berkembang. Pemerintah diminta makin mempertegas aturan wajib pembuatan badan hukum bagi pemain e-commerce asing yang berbisnis di Indonesia.Β
(rou/rou)