Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Budi Arie Setiadi mengatakan kebocoran data pemilih yang diduga berasal dari situs KPU dinilai merupakan data biasa. Pakar siber pun merespon penyebutan data biasa tersebut sebagai menanggap enteng kasus yang sedang terjadi.
Sebagai informasi, sebanyak 204 juta Data Pemilih Tetap (DPT) berhasil dijebol oleh akun anonim bernama Jimbo. Ia menggondol data pribadi yang meliputi NIK, NKK, nomor KTP, TPS, e-KTP, jenis kelamin, dan tanggal lahir. Bahkan, data pribadi capres yang akan bertarung di Pemilu 2024 pun tak luput diraup dan dijual di dark web.
"Kebocoran-kebocoran data yang terjadi selama ini memang banyak pihak yang menganggap enteng, bahkan banyak yang berkelakar di media sosial kalau Indonesia memang negara open source yang datanya dapat dilihat siapa saja," Chairman CISSReC Pratama Persadha, Jumat (1/12/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ini bukan kali pertama data pemilih dari situs KPU berhasil dirampok. Sebelumnya, Bjorka mengklaim telah menembus dan mendapatkan database pemilih sebanyak 105 juta. Namun ketika itu pihak KPU membantah terjadi kebocoran data.
"Kebocoran data yang terjadi selama ini tentu saja sangat berbahaya bagi masyarakat yang datanya termasuk dalam data yang didapatkan oleh hacker tersebut, karena data pribadi yang ada tersebut dapat dimanfaatkan oleh orang lain untuk melakukan tindak kejahatan seperti penipuan, baik penipuan secara langsung kepada orang yang datanya bocor tersebut, maupun penipuan lain dengan mengatasnamakan atau menggunakan data pribadi orang lain yg bocor tersebut," tuturnya.
Lebih lanjut, Pratama mengatakan, yang lebih berbahaya lagi jika data pribadi tersebut dipergunakan untuk membuat identitas palsu yang kemudian dipergunakan untuk melakukan tindakan terorisme, sehingga pihak serta keluarga yang data pribadinya dipergunakan akan mendapat tuduhan sebagai teroris atau kelompok pendukungnya.
Disampaikan Pratama bahwa kebocoran data sudah melanggar Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi di mana di dalam undang-undang tersebut, pengelola data pribadi wajib menjamin keamanan data pribadi masyarakat yang dikumpulkan dan dikelolanya.
"Kelalaian yang dapat menyebabkan kebocoran data tersebut dapat dituntut dengan sanksi administratif yang cukup besar," kata Pratama.
Di sisi lain, meremehkan akibat dari kebocoran data ini menunjukkan betapa lemahnya political will untuk secara serius menangani kasus kebocoran data yang terjadi meskipun sejatinya ada banyak ahli di indonesia namun pemerintah seolah menutup mata bahkan mengabaikan hak privasi rakyat.
"Termasuk juga tidak adanya transparansi dalam menangani kasus kebocoran data karena belum pernah ada laporan hasil analisa audit serta forensik digital dari berbagai kasus kebocoran data yang terjadi selama ini," pungkasnya.
Saat ini berbagai pihak, mulai dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Bareskrim Polri, Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), hingga KPU menyelidiki dugaan kebocoran data pemilih Pemilu 2024 tersebut. Diharapkan penelusuran dugaan 204 juta DPT tersebut dapat dipublikasikan hasilnya ke masyarakat.
(agt/fyk)