Akademisi dari Ben-Gurion University of Negev mengungkap sebuah serangan siber yang sangat mengerikan, karena bisa memodifikasi DNA sintetis menjadi virus berbahaya.
Dalam penelitian berjudul 'Cyberbiosecurity: Remote DNA Injection Threat in Synthetic Biology' yang dipublikasikan dalam jurnal Nature Biotechnology tersebut diungkap kalah serangan siber berbentuk malware itu menargetkan komputer milik peneliti biologi.
Saat para ilmuwan di seluruh dunia sedang berkerja keras untuk menggarap vaksin COVID-19, tim akademisi tersebut menyebut kalau penjahat sebenarnya tak perlu mempunyai akses secara fisik terhadap substansi berbahaya untuk bisa menyebar virus mematikan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Melainkan, mereka bisa 'mengakali' ilmuwan' untuk memproduksi racun atau virus sintetis menggunakan serangan siber. Ngeri!
Salah satu kemampuan malware tersebut adalah mengubah sub-string dari DNA, yaitu dengan mengeksploitasi kelemahan di sistem Screening Framework Guidance for Providers of Synthetic Double Stranded DNA and Harmonized Screening Protocol v2.0.
Jadi, saat ada permintaan DNA yang ditujukan ke pembuat gen sintetis, US Department of Health and Human Services sebenarnya mewajibkan protokol pemantauan untuk menyaring DNA berbahaya.
Namun, tim akademisi itu ternyata bisa menembus protokol ini menggunakan metode obfuscation, di mana 16 dari 50 sampel DNA yang sudah disamarkan bisa tak terdeteksi lewat proses penyaringan tersebut.
Parahnya lagi, software yang dipakai untuk mendesain dan mengatur proyek DNA sintetis tersebut juga bisa menjadi pintu masuk serangan siber tersebut. Yaitu dengan menyusupkan string DNA yang sudah diubah ke dalam sistem, dan proses ini mereka sebut sebagai end-to-end cyberbiological attack.
![]() |
Tak cuma itu, proses pembuatan gen sintetis yang ditawarkan oleh sistem tersebut ternyata juga bisa ditembus lewat serangan berbasis browser. Yaitu hacker bisa menggunakan plugin malicious untuk browser untuk menyusupkan DNA berbahaya ke dalam pesanan gen sintetis.
Dengan berbagai penyusupan tersebut, maka bisa saja pembuatan virus sintetis berbahaya dan bahan beracun bisa dilakukan oleh hacker secara remote lewat serangan siber ini, demikian dikutip detikINET dari Zdnet, Selasa (1/12/2020).
(asj/afr)