Kategori Berita
Daerah
Layanan
Detik Network
detikInet
Game Lokal Baru Funguys Swarm dari Pengembang Coral Island Segera Rilis

Sejarah Kelapa Sawit, dari Zaman Belanda Hingga Bencana Banjir Sumatra


Rachmatunnisa - detikInet

Pekerja melakukan bongkar muat kelapa sawit yang akan diolah menjadi minyak kelapa sawit Crude palem Oil (CPO) dan kernel di pabrik kelapa sawit Kertajaya, Malingping, Banten, Selasa (19/6). Dalam sehari pabrik tersebut mampu menghasilkan sekitar 160 ton minyak mentah kelapa sawit. File/detikFoto.
Ilustrasi pengolahan kelapa sawit (Foto: Jhoni Hutapea/detikcom)
Jakarta -

Kelapa sawit telah menjadi komoditas pertanian paling dominan di Indonesia, namun sedikit yang menyadari bahwa sejarah panjangnya turut membentuk bentang alam dan dinamika ekologis yang kini berkontribusi pada risiko bencana, termasuk banjir bandang yang berulang di Sumatra.

Berikut adalah jejak panjang kelapa sawit di Indonesia, yang dirangkum dari berbagai sumber. Sejarah kelapa sawit di Indonesia berawal pada 1848 saat Belanda membawa empat bibit tanaman dengan nama ilmiah Elaeis guineensis tersebut dari Afrika Barat ke Kebun Raya Bogor, di Bogor, Jawa Barat.

Lima tahun setelah ditanam, pohon kelapa sawit di Kebun Raya Bogor menghasilkan buah. Biji-biji kelapa sawit itu kemudian disebar secara gratis, termasuk dibawa ke Sumatra pada 1875, untuk menjadi tanaman hias di pinggir jalan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ternyata kelapa sawit tumbuh subur di Deli, Sumatra Utara. Perubahan besar pun terjadi ketika pemerintah kolonial menyadari potensi ekonominya. Pada 1911, perkebunan komersial pertama didirikan di Tanah Deli, Sumatra Utara. Dari sinilah era industri sawit Indonesia dimulai.

Ekspansi Perkebunan

Keberhasilan kebun-kebun awal di Sumatra memicu perluasan besar-besaran. Pada akhir masa kolonial, Indonesia sudah menjadi salah satu produsen minyak sawit terbesar di dunia.

Lalu di zaman setelah kemerdekaan, perkembangan sawit semakin cepat melalui program Perkebunan Inti Rakyat (PIR) pada 1970-1980-an. Pemerintah mendorong sawit sebagai komoditas pembangunan pedesaan, menciptakan lapangan kerja, serta meningkatkan devisa. Mengutip Mongabay, program ini berlanjut lewat Instruksi Presiden Nomor 1/1986 dengan nama PIR-TRANS yang terkoordinasi dengan program transmigrasi.

Sumatra menjadi pusat ekspansi, disusul Kalimantan pada 1990-2000-an. Kemudian pada 2006, Indonesia resmi melampaui Malaysia sebagai produsen minyak sawit terbesar di dunia.

Buah Emas Berdampak Lingkungan Besar

Karena nilai ekonominya yang tinggi, kelapa sawit memiliki julukan mentereng: buah emas. Saat ini, sawit menyumbang devisa ratusan triliun rupiah setiap tahun dan menjadi sumber penghidupan jutaan orang.

Namun, pertumbuhan pesat dan kepopuleran si buah emas juga meninggalkan jejak ekologis yang signifikan. Banyak penelitian menunjukkan bahwa sebagian areal yang berubah menjadi perkebunan sawit sebelumnya merupakan hutan primer atau kawasan bernilai konservasi tinggi, termasuk rumah gajah Sumatra, orangutan, dan harimau.

Konversi hutan dalam skala luas mengakibatkan fragmentasi habitat, penurunan keanekaragaman hayati, kerentanan hidrologis, hingga bencana banjir bandang dahsyat yang terjadi November 2025.

Perluasan Sawit Terkait Erat Banjir Bandang

Ekspansi sawit secara masif, khususnya di Sumatra, berkaitan erat dengan peningkatan risiko bencana ekologis. Berkurangnya tutupan hutan mengurangi kemampuan tanah menyerap air hujan. Lahan yang sebelumnya lebat kini berubah menjadi area terbuka atau monokultur dengan daya serap tanah yang sangat rendah. Meski sama-sama pohon, sawit tidak bisa menggantikan peran hutan alam.

Karenanya, ketika hujan ekstrem terjadi, yang kini semakin sering akibat perubahan iklim, air mengalir cepat ke hilir tanpa tertahan oleh vegetasi hutan. Kondisi ini memperbesar potensi banjir bandang.

Para ahli hidrologi menyebut hilangnya hutan alam sebagai salah satu faktor kunci yang memperburuk debit puncak aliran sungai. Meski bukan satu-satunya penyebab, deforestasi akibat ekspansi perkebunan sawit memiliki kontribusi signifikan dalam mengubah tata air di kawasan tersebut.

Peneliti Hidrologi Hutan dan Konservasi Daerah Aliran Sungai (DAS) Universitas Gadjah Mada (UGM) Dr. Ir. Hatma Suryatmojo, S.Hut., M.Si., IPU., menyebutkan, cuaca ekstrem memang terjadi karena perubahan dari iklim Bumi yang semakin panas. Namun selain itu, banjir yang datang saat cuaca ekstrem diperparah akibat perusakan hutan secara terus menerus.

"Cuaca ekstrem hanyalah pemicu awal. Dampak merusak banjir bandang tersebut sesungguhnya diperparah oleh rapuhnya benteng alam (hutan) di kawasan hulu," ujar Hatma, dikutip dari situs UGM.

Tata Kelola Lahan dan Konflik Berkepanjangan

Pertumbuhan industri sawit juga melahirkan problem tata kelola. Tumpang tindih izin, lemahnya pengawasan, serta perambahan ke kawasan konservasi, termasuk taman nasional dan habitat satwa liar, sering memicu konflik lingkungan dan sosial.

Di beberapa daerah, masyarakat menanam sawit hingga ke kawasan hutan negara, menciptakan situasi rumit ketika pemerintah berupaya melakukan penertiban. Kompleksitas ini membuat pemulihan ekosistem berlangsung lambat.

Sejumlah lembaga lingkungan menilai bahwa perbaikan tata kelola, rehabilitasi hutan yang hilang, serta pengawasan ketat terhadap perluasan kebun harus menjadi prioritas untuk menekan risiko bencana ekologis di masa depan.




(rns/fay)









Hide Ads