Tinja Manusia dan Hewan Merusak Ekosistem Bumi
Hide Ads

Tinja Manusia dan Hewan Merusak Ekosistem Bumi

Rachmatunnisa - detikInet
Selasa, 02 Jul 2024 14:45 WIB
Planet Bumi
Foto: Getty Images
Jakarta -

Semua makhluk hidup makan, jadi tentu saja mengeluarkan kotoran lewat buang air besar dan kecil. Ironisnya, kegiatan alami makhluk hidup ini salah satu penyebab yang merusak ekosistem Bumi.

Dikutip dari TheBulletin.org, 7,6 miliar manusia dan hewan peliharaannya diperkirakan menghasilkan sedikitnya 4 triliun kilogram kotoran setiap tahun. Angka ini cukup untuk mengisi sekitar 1,6 juta kolam renang ukuran Olimpiade. Jumlah besar kotoran manusia dan hewan yang dihasilkan mengubah ekosistem planet dengan cara yang berbahaya.

Semua kotoran ini harus dibuang ke suatu tempat, dan sebagian besar tersebar di lahan pertanian sebagai pupuk. Tanah membutuhkan mikroba dan nutrisi dalam pupuk kandang agar tetap sehat, namun kita tidak mengelola pupuk kandang dengan benar, dan kesalahan pengelolaan menyebabkan masalah lingkungan dan kesehatan yang serius.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Untuk diketahui, hewan peliharaan menyumbang sekitar 85% kotoran yang dihasilkan dalam setahun. Metode pengelolaan dan penggunaan kotoran pertanian yang ada saat ini, menyebarkan gen resistensi antimikroba, mencemari tanaman dan saluran air dengan mikroba, dan menghasilkan emisi gas rumah kaca yang kuat seperti metana dan dinitrogen oksida.

Kotoran Sebarkan Resistensi Antimikroba

Penggunaan antibiotik yang berlebihan pada manusia dan hewan telah mengakibatkan peningkatan jumlah bakteri resisten di lingkungan. Bakteri tersebut dapat ditemukan dalam jumlah besar dari kotoran manusia dan hewan yang dihasilkan oleh peradaban modern dan pertanian.

ADVERTISEMENT

Aliran limbah yang jika bercampur dengan tanah misalnya, membantu menyebarkan resistensi antibiotik ke mikroba lain dengan kecepatan yang mengkhawatirkan. Penelitian tentang DNA di dalam tanah menjelaskan cakupan masalahnya.

Selama beberapa dekade, tidak ada yang mengetahui mikroba apa yang ada di dalam tanah, karena sebagian besar mikroba tanah tidak dapat dibiakkan di laboratorium. Hal ini berubah ketika para ilmuwan mulai menggunakan teknologi baru yang disebut metagenomics untuk mengekstraksi DNA langsung dari tanah.

Metagenomics dapat menilai materi genetik yang ada di lingkungan. Meskipun teknik ini tidak memungkinkan peneliti untuk mengidentifikasi mikroba secara individu, temuan DNA tanah tetap saja mencengangkan. Gen resistensi antibiotik ada di mana-mana, termasuk di tanah Arktik, Antartika, dan wilayah lain yang belum pernah terkena paparan antibiotik antropogenik. Gen resistensi antibiotik ini tampaknya sudah ada sejak dahulu kala dan sudah ada sebelum penggunaan antibiotik pada manusia.

Mikroba tampaknya menggunakan antibiotik sebagai bentuk komunikasi. Untuk menangani antibiotik ini, mikroba telah mengembangkan gen resistensi.

Untuk menggambarkan penyebaran gen-gen ini, para ilmuwan menciptakan istilah 'resistensi global.' Penggunaan antibiotik yang berlebihan dalam bidang kedokteran dan pertanian telah mempengaruhi jaringan gen resistensi di seluruh dunia.

Dengan membanjiri planet ini dengan pupuk kandang, membuat tanah terpapar antibiotik dan gen yang resisten terhadap antibiotik, kita mengubah ekologi mikroba. Akibatnya, mikroba saling berbagi gen resistensi antibiotik. Mereka melakukan hal ini jauh lebih cepat dibandingkan kemampuan perusahaan farmasi dalam mengembangkan antibiotik baru.

Sapi, Pupuk Kandang, dan Perubahan Iklim

Kotoran hewan dan manusia tidak hanya membantu menyebarkan resistensi antibiotik yang juga berkontribusi terhadap perubahan iklim. Kotoran ternak dalam jumlah besar mengeluarkan metana dan dinitrogen oksida, yang merupakan gas rumah kaca yang jauh lebih kuat dibandingkan karbon dioksida.

Hewan ruminansia seperti sapi juga menghasilkan emisi ketika mereka bersendawa atau buang angin. Emisi kotoran dan pencernaan ini menyumbang 7% emisi gas rumah kaca global. Pelaku utama yang bertanggung jawab atas angka yang mengkhawatirkan ini adalah daging sapi dan sapi perah, yang menghasilkan sekitar 62% emisi tersebut.

Jumlah metana yang dihasilkan selama proses pencernaan makanan oleh sapi dan hewan ruminansia lainnya, yang disebut fermentasi enterik, bervariasi tergantung pada kualitas dan komposisi pakan.

Kabar baiknya, ada beberapa metode yang dapat membantu. Pakan berkualitas tinggi dan aditif pakan seperti bromoform, senyawa organik yang ditemukan dalam rumput laut, dapat mengurangi emisi metana dari fermentasi enterik 50-90%, tetapi senyawa tersebut masih memerlukan pengujian lebih lanjut.

Menyimpan pupuk kandang dalam bentuk cair di kolam atau laguna mengeluarkan lebih banyak metana daripada menyimpannya dalam bentuk padat. Sementara itu, pengolah metana dapat menangkap gas yang dikeluarkan dari pupuk kandang dan mengubahnya menjadi energi terbarukan. Namun, teknologi ini tidak murah dan memerlukan insentif finansial jika ingin diadopsi secara luas. Sejauh ini, Eropa telah menerima insentif tersebut secara lebih efektif dibandingkan Amerika Serikat.

Jumlah besar kotoran manusia dan hewan yang dihasilkan setiap tahunnya memerlukan kebijakan nasional dan internasional yang lebih baik serta teknologi canggih untuk mengatasi dampaknya terhadap kesehatan global, bioma planet ini, dan atmosfer.




(rns/fay)