Azab Membabat Hutan dan yang Bisa Dilakukan untuk Hentikannya
Hide Ads

Azab Membabat Hutan dan yang Bisa Dilakukan untuk Hentikannya

Rachmatunnisa - detikInet
Minggu, 09 Jun 2024 05:45 WIB
Deforestasi Hutan Amazon Brasil
Azab Membabat Hutan dan yang Manusia Bisa Lakukan untuk Hentikannya. Foto: BBC
Jakarta -

Kita membutuhkan pohon karena begitu banyak alasan, salah satunya karena pohon menyerap karbon dioksida yang kita keluarkan dan gas rumah kaca yang memerangkap panas yang dihasilkan oleh aktivitas manusia.

Ketika gas-gas tersebut memasuki atmosfer, pemanasan global meningkat. Ilmuwan menyebut tren ini sebagai perubahan iklim. Penggundulan hutan juga memunculkan bahaya penyakit.

Diperkirakan 60% penyakit menular yang muncul berasal dari hewan, dan penyebab utama perpindahan virus dari satwa liar ke manusia adalah hilangnya habitat, yang seringkali disebabkan oleh penggundulan hutan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tapi kita masih bisa menyelamatkan hutan kita. Upaya agresif untuk membangun kembali dan menghutankan kembali sudah menunjukkan keberhasilan.

Dikutip dari National Geographic, menurut sebuah perkiraan, tutupan pohon tropis saja dapat menyediakan 23% mitigasi iklim yang diperlukan untuk memenuhi tujuan yang ditetapkan dalam Perjanjian Paris pada tahun 2015.

ADVERTISEMENT

Penyebab Deforestasi

Hutan masih mencakup sekitar 30% luas daratan dunia, namun kepunahannya terjadi pada tingkat yang mengkhawatirkan. Sejak tahun 1990, dunia telah kehilangan lebih dari 420 juta hektar atau sekitar satu miliar hektar hutan, menurut Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO), terutama di Afrika dan Amerika Selatan.

Sekitar 17% hutan hujan Amazon telah hancur dalam 50 tahun terakhir, dan kerugian yang terjadi akhir-akhir ini terus meningkat. Organisasi Amazon Conservation melaporkan bahwa kehancuran meningkat sebesar 21% pada tahun 2020.

Pembukaan lahan pertanian, penggembalaan ternak, pertambangan, dan pengeboran, menyumbang lebih dari separuh deforestasi. Praktik kehutanan, kebakaran hutan dan, sebagian kecil, urbanisasi merupakan penyebab sisanya.

Di Malaysia dan Indonesia, hutan ditebang untuk menghasilkan minyak sawit, yang dapat ditemukan dalam segala hal mulai dari sampo hingga biskuit. Di Amazon, peternakan dan peternakan, khususnya perkebunan kedelai, adalah penyebab utamanya.

Praktik penebangan kayu, yang menghasilkan produk kayu dan kertas bagi dunia, juga menebang banyak pohon setiap tahunnya. Para penebang, beberapa di antaranya bertindak secara ilegal, juga membangun jalan untuk mengakses hutan yang semakin terpencil, yang menyebabkan deforestasi lebih parah. Hutan juga ditebangi akibat perluasan kota seiring dengan pengembangan lahan untuk perumahan.

Tidak semua penggundulan hutan disengaja. Beberapa diantaranya disebabkan oleh kombinasi faktor manusia dan alam seperti kebakaran hutan dan penggembalaan berlebihan, yang dapat menghambat pertumbuhan pohon muda.

Deforestasi Perlu Perhatian Serius

Terdapat sekitar 250 juta orang yang tinggal di kawasan hutan dan sabana dan bergantung pada keduanya untuk penghidupan dan pendapatan. Banyak di antara mereka adalah masyarakat miskin pedesaan di dunia.

Sebanyak 80% hewan dan tumbuhan darat di Bumi hidup di hutan, dan penggundulan hutan mengancam spesies termasuk orangutan, harimau Sumatera, dan banyak spesies burung.

Menebang pohon akan menghilangkan sebagian kanopi hutan, sehingga menghalangi sinar Matahari di siang hari dan menahan panas di malam hari. Gangguan tersebut menyebabkan perubahan suhu yang lebih ekstrem yang dapat membahayakan tumbuhan dan hewan.

Dengan hancurnya habitat liar dan semakin meluasnya kehidupan manusia, batas antara wilayah hewan dan manusia menjadi kabur, sehingga membuka pintu bagi penyakit zoonosis.

Pada tahun 2014 misalnya, virus Ebola membunuh lebih dari 11.000 orang di Afrika Barat setelah kelelawar buah menularkan penyakit tersebut kepada balita yang sedang bermain di dekat pohon tempat kelelawar bertengger.

Beberapa ilmuwan percaya bahwa mungkin terdapat 1,7 juta virus yang belum ditemukan pada mamalia dan burung, dan 827 ribu di antaranya memiliki kemampuan untuk menginfeksi manusia, menurut sebuah penelitian pada tahun 2018.

Dampak deforestasi tidak hanya berdampak pada manusia dan hewan yang menebang pohon. Hutan hujan Amerika Selatan, misalnya, mempengaruhi siklus air regional dan bahkan global, dan merupakan kunci bagi pasokan air di kota-kota di Brasil dan negara-negara tetangganya.

Hutan Amazon sebenarnya membantu menyediakan air bagi beberapa petani kedelai dan peternak sapi yang membuka hutan. Hilangnya air bersih dan keanekaragaman hayati di seluruh hutan dapat menimbulkan banyak dampak lain yang tidak dapat kita duga sebelumnya.

Dalam kaitannya dengan perubahan iklim, penebangan pohon menambah karbon dioksida ke udara dan menghilangkan kemampuan untuk menyerap karbon dioksida yang ada.

Jika deforestasi hutan tropis bisa disamakan dengan sebuah negara, menurut World Resources Institute, maka negara tersebut akan menduduki peringkat ketiga penghasil emisi setara karbon dioksida, setelah China dan Amerika Serikat.

Apa yang Bisa Dilakukan

Jumlahnya memang suram, namun banyak pegiat konservasi melihat adanya harapan. Sebuah gerakan sedang dilakukan untuk melestarikan ekosistem hutan yang ada dan memulihkan tutupan pohon yang hilang dengan terlebih dahulu melakukan reboisasi (penanaman kembali pohon), dan pada akhirnya melakukan pembangunan kembali (misi yang lebih komprehensif untuk memulihkan seluruh ekosistem).

Organisasi dan aktivis lingkungan berupaya memerangi penambangan dan penebangan liar. National Geographic Explorer Topher White misalnya, telah menemukan cara untuk menggunakan ponsel daur ulang untuk memantau keberadaan gergaji mesin.

Di Tanzania, penduduk Kokota telah menanam lebih dari 2 juta pohon di pulau kecil mereka selama satu dekade, dengan tujuan untuk memperbaiki kerusakan yang terjadi sebelumnya. Dan di Brasil, para pegiat lingkungan hidup bersatu menghadapi sinyal buruk bahwa pemerintah mungkin akan membatalkan perlindungan hutan.

Menghentikan deforestasi sebelum mencapai titik kritis akan memainkan peran penting dalam menghindari pandemi zoonosis berikutnya. Sebuah penelitian pada bulan November 2022 menunjukkan bahwa ketika kelelawar kesulitan menemukan habitat yang cocok, mereka berpindah lebih dekat ke komunitas manusia yang memungkinkan penyakit lebih menyebar.

Sebaliknya, jika habitat asli kelelawar dibiarkan utuh, mereka akan menjauhi manusia. Penelitian ini merupakan penelitian pertama yang menunjukkan bagaimana kita dapat memprediksi dan menghindari dampak buruk melalui pemantauan dan pemeliharaan habitat satwa liar.

Bagi konsumen, kalian bisa lebih teliti memeriksa produk dan daging yang akan dibeli, dan jika memungkinkan, selalu mengutamakan sumber atau bahan-bahan yang diproduksi secara berkelanjutan.

Contohnya, kelompok nirlaba seperti Forest Stewardship Council dan Rainforest Alliance melakukan sertifikasi produk yang mereka anggap berkelanjutan, dan World Wildlife Fund memiliki kartu skor minyak sawit untuk merek konsumen.




(rns/rns)