Korea Selatan Hadapi Kondisi Gawat, Bisa Ancam Eksistensinya
Hide Ads

Korea Selatan Hadapi Kondisi Gawat, Bisa Ancam Eksistensinya

Fadhila Khairina Fachri - detikInet
Senin, 04 Mar 2024 08:30 WIB
Seperti Jepang dan beberapa negara, Korsel kini dihadapi krisis populasi gegara angka kelahiran rendah. Wanita Korea menilai nikah dan punya anak tak penting.
Foto: Simon Shin/Getty Images
Jakarta -

Korea Selatan kembali menghadapi tantangan serius dengan terus menurunnya tingkat kelahiran, yang kini mencapai tingkat terendah di dunia.

Data terbaru yang dilansir dari Microtrends, menunjukkan bahwa tingkat fertilitas total di Korea Selatan telah mencapai 1,079 kelahiran per wanita pada tahun 2024, mengalami peningkatan sebesar 0,37% dari tahun 2023.

Pada tahun 2023, tingkat fertilitas di Korea Selatan adalah 1,075 kelahiran per wanita, mengalami penurunan sebesar 0,65% dari tahun 2022. Sebelumnya pada tahun 2022, tingkat fertilitas di Korea Selatan adalah 1,082 kelahiran per wanita, mengalami penurunan sebesar 0,64% dari tahun 2021.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Masalah ini semakin memprihatinkan karena populasi Korea Selatan yang saat ini mencapai 51 juta orang diperkirakan akan menyusut menjadi setengahnya pada tahun 2100 jika kecenderungan ini berlanjut. Sebagai tanggapan, pemerintah Korea Selatan telah mengeluarkan miliaran dolar untuk mencoba memitigasi krisis demografi ini.

Rata-rata jumlah bayi yang diharapkan lahir dari seorang wanita Korea Selatan turun menjadi 0,72 dari 0,78 pada tahun 2022, dan proyeksi sebelumnya memperkirakan bahwa ini akan turun lebih jauh, menjadi 0,68 pada tahun 2024. Angka-angka ini jauh di bawah 2,1 anak yang diperlukan untuk menjaga populasi suatu negara pada tingkatnya saat ini.

ADVERTISEMENT

Penurunan tingkat kelahiran tidak hanya terjadi secara merata di seluruh negara, tetapi terkonsentrasi di ibu kota Seoul, di mana tingkat kelahiran mencapai angka terendah, 0,55. Menurut The Guardian, pemerintah berkomitmen untuk mengambil langkah-langkah luar biasa guna mengatasi situasi ini.

Faktor utama yang diidentifikasi sebagai penyebab penurunan ini melibatkan masalah di bidang pekerjaan, perumahan, dan kurangnya dukungan untuk pengasuhan anak.

Laporan dari ABC Australia menyoroti bahwa beban finansial yang tinggi juga menjadi penghalang utama bagi pasangan untuk menikah, suatu langkah yang dianggap sebagai prasyarat untuk memiliki anak di Korea Selatan.

Contohnya, seorang ibu mengungkapkan bahwa sebelumnya ia mengeluarkan USD5.400 atau setara dengan Rp 85 juta per bulan untuk dua pengasuh anak kembarnya, menggambarkan tantangan finansial yang dihadapi oleh keluarga dalam mengasuh anak.

Tidak hanya Korea Selatan yang menghadapi penurunan drastis angka kelahiran. Negara-negara tetangga seperti China dan Jepang juga mengalami penurunan tingkat kelahiran hingga mencapai rekor terendah masing-masing 1,09 dan 1,26 pada tahun 2022.

Jepang bahkan menghadapi lebih dari dua kali lipat jumlah kematian dibandingkan bayi yang lahir pada tahun 2023, menandakan dampak luas dari krisis demografi di kawasan Asia Timur.

Dengan demikian, kebijakan dan solusi yang holistik perlu diimplementasikan tidak hanya di Korea Selatan tetapi juga di seluruh kawasan untuk mengatasi tantangan serius ini yang dapat mengubah lanskap demografis dan ekonomi secara keseluruhan.

*) Artikel ini ditulis oleh Fadhila Khairina Fachri, peserta Program Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.




(rns/rns)