Gelombang kejut dari konflik antara Israel dan Palestina mengguncang dunia, termasuk komunitas ilmiah di kedua kawasan ini.
Israel telah membombardir Gaza sebagai pembalasan atas serangan Hamas di kota-kota Israel selatan yang menewaskan sedikitnya 1.300 orang. Sementara itu, lebih dari 4 ribu warga Palestina telah terbunuh.
Setelah militer Israel memanggil lebih dari 300 ribu tentara cadangan, perguruan tinggi dan universitas di Israel menunda dimulainya semester musim gugur hingga setidaknya awal November.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Beberapa diantaranya telah mengubah asrama mereka menjadi perumahan bagi tentara cadangan atau tempat perlindungan bagi warga Israel yang menjadi pengungsi akibat perang.
Di Israel, universitas-universitas berduka atas kematian para ilmuwan dalam serangan mendadak tanggal 7 Oktober yang dilakukan militan Hamas.
Laboratorium akademis mulai kosong ketika mahasiswa pascasarjana asing kembali ke negaranya dan para akademisi muda melapor untuk dinas militer.
"Kita tidak dapat mempertahankan fasilitas penelitian secara penuh," kata Asher Cohen, Presiden Hebrew University of Jerusalem dikutip dari Science.org, Rabu (25/10/2023).
Di Jalur Gaza, para peneliti mengatakan banyak dari beberapa lembaga ilmiah yang sudah terkepung di wilayah Palestina telah dirusak oleh serangan udara Israel, dan para ilmuwan berjuang untuk menemukan tempat yang aman.
"Prioritasnya bukanlah sains, prioritasnya adalah untuk tetap bertahan hidup," kata Marwan Awartani, Presiden Akademi Sains dan Teknologi Palestina yang berbasis di Tepi Barat.
Di tempat lain, perang memaksa penyandang dana penelitian untuk mengubah rencana. Kemarin, misalnya, Komisi Eropa mengumumkan bahwa mereka akan memberikan waktu tambahan satu minggu atau lebih kepada semua pemohon untuk menyelesaikan permohonan mendatang ke beberapa program hibah besar.
"Kami menawarkan dukungan kami kepada mereka yang terkena dampak konflik baru-baru ini," kata Iliana Ivanova, Komisaris Komisi Eropa untuk inovasi, penelitian, kebudayaan, pendidikan dan pemuda.
"Di Ben-Gurion University di Negev, sebagian besar dari 242 mahasiswa pascadoktoral internasionalnya telah mengevakuasi diri, seringkali atas desakan negara asal mereka," kata Presiden Ben-Gurion University Daniel Chamovitz.
Universitas ini terletak hanya 41 kilometer dari perbatasan Gaza dan dalam jangkauan roket yang ditembakkan oleh Hamas dan sekutunya.
Setidaknya 50 mahasiswa, staf, dan dosen Ben-Gurion tewas dalam serangan Hamas, kata pejabat universitas, termasuk fisikawan teoretis Sergey Gredeskul dan ahli matematika Viktoria Gredeskul, dan beberapa lainnya disandera oleh Hamas.
Banyaknya jumlah korban tewas memaksa Chamovitz mengembangkan protokol berkabung untuk universitas tersebut. Langkah ini memastikan bahwa setidaknya satu anggota pemerintahan menghadiri setiap pemakaman dan setiap shiva (7 hari berkabung Yahudi).
Beberapa laboratorium penelitian Ben-Gurion masih berfungsi, tetapi kapasitasnya berkurang jauh dari kapasitas puncak. Para mahasiswa Post Doktoral di bidang ilmu data atau yang menulis artikel jurnal terus bekerja, dan universitas memutuskan untuk terus membiayai beasiswa untuk bulan depan, dengan harapan situasi akan stabil.
Di Hebrew University of Jerusalem, peneliti biomedis Yuval Dor mengatakan lima dari 20 anggota laboratoriumnya, yang berfokus pada diabetes dan deteksi penyakit, telah berangkat wajib militer.
"Semua orang terganggu, semua tahu banyak orang yang terluka, terbunuh, atau diculik. Eksperimen telah terhenti," kata Dor.
Laboratorium tersebut juga memulai sebuah perusahaan baru, namun Dor khawatir calon investor akan enggan berinvestasi. Dor mengatakan dia berbesar hati menerima puluhan pesan dukungan yang dia terima dari rekan-rekan sesama peneliti di luar negeri. Bagaimanapun, ia bersedih hati.
"Sungguh menyedihkan untuk beralih dari fokus pada diagnosis penyakit ke memikirkan metode untuk mengidentifikasi DNA korban konflik," ujarnya.
Di Gaza, situasinya sangat buruk, kata Awartani, mantan menteri pendidikan Otoritas Palestina, yang berkuasa di Tepi Barat.
"Bahkan sebelum perang saat ini, blokade Israel terhadap Gaza mempersulit para peneliti Palestina untuk menerima dana atau menghadiri konferensi di luar negeri, dan bagi peneliti asing untuk bekerja di universitas-universitas di Gaza. Israel sering memblokir impor peralatan ilmiah dengan alasan keamanan," ujar Awartani.
Kini, sebagian besar infrastruktur ilmu pengetahuan di Gaza yang terbatas telah hancur. Dua institusi besar Islamic University of Gaza dan Al-Azhar University, menderita kerusakan parah akibat serangan udara Israel.
"Jelas banyak mahasiswa dan dosen yang tewas atau terluka. Dampak jangka panjang dari perang terhadap sistem pendidikan tinggi Gaza tidak dapat dihitung," kata Awartani.
"Jalinan psikologis, intelektual, dan budaya yang diperlukan untuk komunitas akademis yang berkembang telah terkoyak, dan akan membutuhkan waktu bertahun-tahun, bahkan beberapa generasi, untuk memperbaikinya," tutupnya.
(rns/fay)