Berbagai ledakan besar yang tercatat dalam sejarah berdampak luas pada kehidupan manusia ketika itu. Ledakan dahsyat yang terjadi sepanjang peradaban manusia tak hanya dipicu ulah manusia, tetapi ada juga ledakan yang terjadi karena bencana alam, salah satu contohnya adalah letusan Gunung Tambora.
Peristiwa ledakan gunung yang terletak di Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, Indonesia ini bahkan sampai berdampak pada penyimpangan iklim global hingga setahun setelahnya. Ilmuwan bahkan menyebutkan bahwa letusan yang terjadi pada 10 April 1815 ini adalah contoh mengerikan dari bencana iklim yang meluas.
Dikutip dari National Geographic, berdasarkan U.S. Geological Survey's Volcano Explosivity Index, peristiwa Tambora adalah letusan gunung berapi terbesar dalam milenium terakhir dengan skor tujuh dari delapan. Skor ini menggambarkan kekuatan ledakannya sepuluh kali lebih besar dari letusan Gunung Pinatubo tahun 1991 dan seratus kali lebih kuat dari ledakan Gunung St. Helens tahun 1981.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di Pulau Sumbawa, peristiwa tersebut langsung menewaskan sedikitnya 10 ribu orang, sebagian besar akibat paparan aliran piroklastik, yakni gelombang gas dan batu beracun panas yang membakar yang berhamburan dari gunung. Tak hanya itu, dampak Tambora terasa lebih jauh dan parah. Letusannya memuntahkan sekitar 100 megaton aerosol belerang ke stratosfer, gelombang gas yang akhirnya berubah menjadi kabut global.
"Orang-orang di belahan dunia lain pun terdampak," kata Liz Cottrell, direktur Global Volcanism Program di Smithsonian Institution.
Awalnya, kabut tebal dari letusan Tambora menciptakan Matahari terbenam yang aneh dan tampak spektakuler sehingga menginspirasi seniman di seluruh dunia mengabadikannya dalam karya seni. Namun dalam perkembangannya, kabut tersebut menghalangi Bumi dari sinar Matahari, mendinginkan planet kita hingga setengah derajat Celcius. Lebih parah lagi tahun 1816, atau setahun setelah letusan terjadi,
dunia barat mengenalnya sebagai tahun tanpa musim panas. Pada bulan Juni tahun itu, salju bahkan turun di Albany dan sungai di Pennsylvania membeku karena efek anomali iklim yang terjadi.
"Setengah derajat adalah perubahan yang cukup besar ketika kita mempertimbangkan berapa banyak energi Matahari yang terblokir. Peristiwa ini menciptakan banyak perubahan pada iklim," kata Ben Andrews yang juga dari Global Volcanism Program di Smithsonian Institution.
Di negara-negara barat, embun beku dan cuaca dingin merusak musim tanam dan memicu seruan untuk bermigrasi ke negara bagian barat. Sementara di Asia, temperatur yang turun mematahkan siklus monsun, mengakibatkan India mengalami kelaparan dan memicu epidemi kolera dengan tingkat keparahan yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Tragisnya, ilmu iklim masih terlalu muda dan informasi terlalu lambat bagi siapa pun untuk menyadari apa yang sedang terjadi. Padahal, saat itu sedang terjadi bencana iklim yang secara tidak langsung membunuh jutaan orang.
"Saya menganggap letusan Tambora mengakibatkan kerusakan iklim paling drastis pada komunitas manusia. Ini adalah studi tentang kerentanan manusia," kata sejarawan lingkungan Gillen D'Arcy Wood dari University of Illinois di Urbana-Champaign.
Menurut Cottrell, kerentanan akibat aktivitas vulkanik akan terus ada. Ia mencontohkan, letusan gunung berapi Eyjafjallajökull di Islandia pada tahun 2010 mengakibatkan ditutupnya perjalanan udara Eropa dan salah satunya berdampak merugikan ekonomi global hingga miliaran dolar.
Gunung Tambora pun menurutnya masih tampak berbahaya terutama bagi masyarakat Indonesia yang tinggal di sekitarnya. "Lebih dari satu juta orang tinggal dalam jarak 100 kilometer dari Tambora saat ini, dan 100 ribu orang tinggal dalam jarak 30 kilometer," kata Cottrell.
Sejumlah studi lain menyebutkan, letusan Gunung Tambora 208 tahun lalu mengeluarkan 140 miliar ton magma dan kekuatan ledakannya bahkan setara 1.000 megaton TNT. Jadi, pantas saja jika letusan dan dampaknya sedahsyat itu.
(rns/rns)