Hadirnya Presiden Joko Widodo pada pertemuan The Climate Summit COP26 merupakan bentuk komitmen Indonesia dalam mendukung terwujudnya Net Zero (Carbon) Emission (NZE). Saat ini, Indonesia sedang bergerak melakukan transformasi dari energi fosil tak terbarukan menuju energi baru terbarukan. Salah satunya adalah dengan optimalisasi fasilitas nuklir di Indonesia.
"Indonesia adalah negara pertama di ASEAN yang memiliki fasilitas ketenaganukliran sejak tahun 1960-an, saat ini usianya sudah lebih dari 60 tahun dan ini adalah masa yang krusial sebab fasilitas tersebut perlu direvitalisasi," terang Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Laksana Tri Handoko dalam Webinar Nasional SDM dan Iptek Nuklir, Sabtu (4/12).
Ia menambahkan, BRIN merencanakan revitalisasi fasilitas nuklir di tiga tempat yaitu Serpong, Bandung, Yogyakarta, dan pembangunannya akan dilaksanakan selama lima tahun mulai 2023.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Revitalisasi fasilitas nuklir ini meliputi perbaikan, pembangunan reaktor baru, penonaktifan reaktor, serta pengembangan fasilitas nuklir yang non reaktor. BRIN saat ini sedang bernegosiasi untuk mewujudkan PLTN generasi IV," terangnya.
Selain fasilitas, aspek SDM juga penting menurut Handoko. "Indonesia butuh SDM handal di bidang nuklir, karenanya Poltek Nuklir harus menjadi salah satu tiang kemajuan nuklir di Indonesia," tegasnya.
Senada dengan hal tersebut, Dewan Energi Nasional As Natio Lasman mengatakan, pendidikan dan pelatihan di bidang Energi Baru Terbarukan (EBT) perlu diupayakan. Hal ini bertujuan untuk mendukung transisi Indonesia menuju penguatan pemanfaatan EBT.
"Strategi transisi energi rendah karbon dilakukan dengan tiga tahapan yaitu dekarbonisasi, desentralisasi, dan fase digitalisasi," ujarnya.
Menurutnya, saat ini masih banyak alat transportasi yang menggunakan bahan bakar berbasis fosil. Ke depan, perlu ada transformasi energi menuju sistem EBT. Pada fase desentralisasi dan digitalisasi, sistem energi akan berbasis listrik yang berorientasi pada ketahanan energi, kemandirian energi, pembangunan berkelanjutan, pembangunan rendah karbon dan ketahanan iklim.
Lebih lanjut, Dosen Departemen Fisika ITB Zaki Su'ud menyampaikan bahwa Perguruan Tinggi berpotensi besar dalam mengembangkan dan menghasilkan terobosan untuk memecahkan kendala sumber energi bebas emisi karbon, agar lebih andal dan kompetitif. Untuk itu, diperlukan sinergi kerja sama antara Perguruan Tinggi, litbang dan industri.
Zaki menjelaskan, semua sistem pembangkit energi bebas emisi karbon perlu dikembangkan secara optimal guna mendukung ketahanan energi Nasional yang bebas emisi karbon. "PLTN generasi IV merupakan salah satu potensi yang harus dikembangkan, dengan tambahan efisiensi konversi energi yang tinggi, serta efisiensi penggunaan sumber daya uranium dan thorium di alam," ungkapnya.
Sementara itu, Direktur MSDM PLN, Shofvi Felienty Roekman dalam kesempatan yang sama menyampaikan bahwa pada tahun 2030-2055 PLN akan menghentikan kurang lebih 48 GW PLTU dan akan digantikan dengan EBT secara bertahap. Hal tersebut memerlukan dukungan dari pemangku kepentingan, sehingga harapannya emisi rumah kaca dapat menurun.
"Ada empat dukungan yang diperlukan yaitu biaya, pendanaan hijau untuk mendukung investasi energi bersih berskala besar, penelitian dan pengembangan teknologi baru, serta kebijakan penggunaan teknologi rendah karbon di sisi hilir seperti insentif pengguna kendaraan listrik," pungkasnya.
(rns/fay)