Jakarta -
Setelah lebih dari 20 bulan menjalani pandemi, total kasus COVID-19 di Indonesia sudah mencapai lebih 4,2 juta kasus dengan kasus aktif 10.825 kasus (Sumber: kawalCOVID19.id). Dengan semakin bertambahnya jumlah masyarakat divaksinasi dan usaha pemerintah mengurangi penyebaran COVID-19, penurunan kasus baru sangat efektif (444 kasus baru per 7 November 2021) sekalipun penyebaran COVID-19 belum dapat dinyatakan selesai.
Indonesia bukanlah negara pertama yang mencoba memulihkan dampak COVID-19 dengan memakai slogan New Normal. Misalnya Singapura, pada pertengahan tahun 2021, sudah mengumumkan hidup berdampingan dengan COVID-19 antara lain dengan mengambil langkah pelonggaran virus Corona secara bertahap. Kebijakan-kebijakan tersebut awalnya dipandang optimistis dilakukan karena melihat penambahan kasus baru di Singapura dari September 2020 sampai Mei 2021 yang dapat dikatakan sangat sedikit sekali yaitu maksimum hanya puluhan penambahan kasus baru tiap hari. Tetapi pada Juni 2021, pemerintah memikirkan kembali relaksasi kebijakan yang dilakukan karena ledakan kasus COVID-19 yang terjadi tiba-tiba.
Mengutip CNN pada 9 Oktober 2021, pusat pencegahan penyakit di Amerika Serikat, CDC, memasukkan Singapura ke kategori level 4 yang merupakan negara dengan paling tidak 500 kasus per 100.000 penduduk. Hal ini tentu menimbulkan masalah-masalah baru yang lebih krisis dari sebelumnya, seperti fasilitas-fasilitas kesehatan yang tidak lagi mampu menangani kasus COVID-19 dan bahkan semakin tingginya tingkat pengunduran diri tenaga kesehatan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Belajar dari Singapura, relaksasi kebijakan Corona virus untuk mendukung pemulihan pascapandemi, bukanlah berarti kewaspadaan masyarakat maupun pemerintah otomatis diturunkan. Malah seharusnya kewaspadaan pemerintah dan masyarakat semakin meningkat untuk mendukung diimplementasikannya pelonggaran pembatasan yang terjadi saat ini. Untuk kasus di Indonesia sendiri, hal ini tentu sangat diperlukan guna menghindari terjadinya wave ketiga setelah puncak kedua yang terjadi pasca lebaran 2021.
Salah satu usaha meningkatkan kewaspadaan penyebaran COVID-19 yaitu dengan memodelkan dan mensimulasikan skenario-skenario yang mungkin terjadi dari setiap kebijakan yang ingin diimplementasikan. Prediksi kemungkinan-kemungkinan yang terjadi ke depannya ini diharapkan dapat mencegah skenario buruk yang mungkin terjadi.
Salah satu pendekatannya yaitu memodelkan proses transmisi virus Corona di populasi. Model ini dilakukan dengan membagi masing-masing individu dalam suatu populasi dalam kategori-kategori tertentu, misalnya kelompok rentan-terinfeksi-sembuh-vaksin atau yang lebih sering disebut dengan SIRV model. Model ini merupakan pengembangan model Kermack-McKendrick dan telah banyak digunakan memodelkan transmisi penyakit yang disebabkan virus.
Permodelan SIRV
Melalui tulisan ini, dari pemodelan dan simulasi COVID-19 dengan menggunakan model SIRV akan ditampilkan dan dijelaskan untuk melihat kemungkinan gambaran penyebaran COVID-19 ke depannya di Indonesia. Pada penelitian ini, software yang digunakan melakukan pengolahan data dan simulasi yaitu MATLAB R2020. Karena model yang digunakan melibatkan faktor vaksinasi, data vaksinasi Indonesia akan digunakan untuk menggambarkan kelompok vaksinasi dari model. Untuk data historikal yang digunakan dalam penelitian ini adalah kasus penyebaran COVID19 untuk puncak kedua yaitu data dari 16 Mei 2021 sampai 04 Oktober 2021.
Grafik garis-garis putus berwarna merah dengan marker lingkaran pada Gambar 1 di bawah menunjukkan kasus penambahan COVID-19 dari tanggal 16 Mei 2021 sampai dengan 04 Oktober yang terjadi di Indonesia secara keseluruhan. Pertama-pertama, model akan dimanfaatkan untuk menggambarkan dinamika penyebaran COVID-19 yang terjadi di Indonesia untuk memvalidasi bahwa model SIRV dapat digunakan untuk menggambarkan kasus penyebaran COVID-19. Data prediksi dari model ditunjukkan garis hitam pada gambar di bawah. Dari hasil prediksi yang ditunjukkan gambar, diperoleh rata-rata perbedaan data asli dengan data prediksi yaitu 1,16% dengan rata-rata bilangan reproduksi dasar dari kasus COVID-19 yaitu 1,1132 pada periode waktu tersebut.
 Gambar 1 (dok Dimitri Mahayana) |
Melihat baiknya model SIRV ini dalam mengambarkan dinamika penyebaran COVID-19, maka langkah selanjutnya melakukan simulasi data yang diperoleh melalui pemodelan SIRV dengan melihat berbagai kasus-kasus yang mungkin terjadi.
Halaman selanjutnya: Vaksinasi dan laju kesembuhan >>>
Vaksinasi
Kurva di Gambar 2 bawah memperlihatkan kondisi ke di masa depan pada jangka waktu November 2021 sampai Januari 2022 dengan berbagai nilai laju vaksinasi harian (proporsi pendudukan yang memperoleh vaksinasi setiap harinya terhadap penduduk yang belum divaksinasi). Berdasarkan data vaksinasi COVID-19 di Indonesia, per tanggal 7 November 2021, proporsi penduduk yang sudah divaksinasi yaitu sekitar 45% dari total jumlah penduduk Indonesia dengan rata-rata laju vaksinasi harian Indonesia saat ini adalah 1,33%.
 Gambar 2 (dok Dimitri Mahayana) |
Dari data simulasi di atas, kurva berwarna kuning memperlihatkan bahwa jika vaksinasi berhenti dilakukan dengan asumsi parameter-parameter lainnya yang mempengaruhi penyebaran COVID-19 (dalam hal ini protokol kesehatan dan kesigapan fasilitas kesehatan dalam penanganan kasus aktif dapat tetap dipertahan seperti kondisi sekarang), maka kasus COVID-19 akan tetap cenderung menurun.
Tetapi jika dibandingkan kurva selain berwarna kuning, laju penurunan kasus aktif cenderung lambat. Hasil simulasi memperlihatkan dengan tetap diberlakukannya program vaksinasi COVID-19, penurunan kasus harian COVID-19 akan semakin cepat. Hal ini tentu sejalan upaya pemerintah mencapai herd immunity yang dapat dicapai jika jumlah penduduk yang memperoleh vaksinasi sudah cukup banyak guna memberikan perlindungan infeksi COVID-19.
Seperti yang sudah dijelaskan, simulasi pada grafik Gambar 2 di atas mengasumsikan jika pemberlakuan protokol kesehatan, kesigapan fasilitas, dan tenaga kesehatan berada pada level yang sama dengan periode waktu Mei 2021-Oktober 2021. Namun kenyataannya, dengan adanya perubahan kebijakan dan diberlakukannya relaksasi terhadap pembatasan, kondisi ini akan sangat sulit untuk dipenuhi. Hal ini akan menimbulkan pertanyaan apakah program vaksinasi saja akan cukup untuk menghentikan pandemi COVID-19 yang terjadi di Indonesia? Atau...apakah pemerintah dan masyarakat Indonesia sudah cukup siap untuk melakukan relaksasi terhadap pembatasan COVID-19?
 Gambar 3 (dok Dimitri Mahayana) |
Simulasi di atas memperlihatkan kasus-kasus di mana kewaspadaan masyarakat berubah untuk menjalankan protokol kesehatan. Dalam hal ini, penulis mengasumsikan bahwa kewaspadaan masyarakat terhadap protokol kesehatan akan mempengaruhi contact rate antara individu yang rentan terhadap virus Corona dan yang terinfeksi.
Dengan asumsi keadaan fasilitas dan tenaga kesehatan tidak berubah dan laku vaksinasi harian adalah 5%, kurva berwarna hitam dan ungu memperlihatkan skenario yang mana semakin meningkatnya kewaspadaan masyarakat dan pemerintah terhadap penyebaran COVID-19. Artinya, jika penduduk Indonesia semakin menaati untuk menjaga protokol kesehatan, simulasi untuk data November 2021 sampai Januari 2021 memperlihatkan kasus harian COVID-19 untuk 3 bulan ke depan akan semakin menurun. Namun, jika kewaspadaan semakin menurun, maka protokol kesehatan semakin diabaikan dan akibatnya contact rate tentu akan semakin meningkat. Dampaknya adalah bilangan reproduksi juga akan meningkat atau kemampuan virus untuk menyebar dari satu individu ke individu lainnya akan meningkat.
Kurva berwarna hijau sampai pink di Gambar 3 menunjukkan kasus kasus yang memperlihatkan semakin diabaikannya protokol kesehatan. Hasil simulasi menunjukkan kemungkinan terjadinya wave ketiga akan semakin besar. Dan tidak tertutup kemungkinan, kasus terinfeksi di masa depan mungkin lebih buruk di bandingkan dengan hasil simulasi di atas. Parameter ketiga yang juga mempengaruhi penyebaran virus ini adalah kesigapan dalam penanganan kasus aktif.
Kenyataan di lapangan, sampai saat ini peneliti-peneliti medis masih mengupayakan untuk menemukan obat yang efektif untuk menyembuhkan COVID-19. Dengan keadaan ini, usaha yang bisa dilakukan untuk menangani kasus aktif yang terjadi adalah kesigapan fasilitas-fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan. Perlu dicatat simulasi menggunakan SIRV model, kesigapan tenaga kesehatan, dan fasilitas kesehatan diasumsikan akan mempengaruhi laju kesembuhan.
Laju Kesembuhan
Simulasi di Gambar 4 bawah memperlihatkan beberapa kasus yang bisa menggambarkan berbagai keadaan yang mempengaruhi laju kesembuhan. Dengan menggunakan konsep model SIRV, menurunnya kesigapan pelayanan kesehatan untuk kasus aktif akan menyebabkan laju kesembuhan yang semakin kecil (waktu yang dibutuhkan sampai negatif terhadap infeksi virus Corona akan semakin lama). Hal ini akan berdampak terhadap bilang reproduksi COVID-19 yang akan semakin meningkat.
Sementara kurva berwarna biru tua dan oranye di bagian bawah menunjukkan gambaran keadaan yang mungkin terjadi jika laju kesembuhan meningkat. Dapat dilihat bahwa aktif harian akan semakin menurun dan sampai pada level 0. Kurva berwarna ungu, hijau, biru muda, dan merah tua memperlihatkan kasus-kasus yang menjelaskan laju kesembuhan yang semakin menurun sedangkan kurva berwarna kuning memperlihatkan hasil simulasi data jika keadaan dapat dipertahankan seperti saat ini. Hasil simulasi menggambarkan semakin meningkatnya laju kesembuhan COVID-19 akan mempengaruhi kecepatan penurunan penambahan kasus terinfeksi baru yang terjadi. Sebaliknya, semakin menurunnya laju kesembuhan akan menyebabkan kenaikan kasus aktif baru secara cepat. Hal ini tentu juga dapat mengimplikasikan kemungkinan-kemungkinan terjadinya ledakan kasus baru.
 Gambar 4 (dok Dimitri Mahayana) |
Halaman selanjutnya: PR Indonesia >>>
Pekerjaan Rumah Indonesia
Berkaca kondisi aktual di Singapura, Indonesia masih memiliki pekerjaan rumah yang cukup besar untuk pengimplementasian relaksasi terhadap pembatasan-pembatasan. Tentu seperti digambarkan tiga simulasi di atas, hal tersebut bukanlah hal yang tidak mungkin untuk dilakukan. Dengan kesadaran untuk meminimalisir dampak yang berkepanjangan dari COVID-19 dalam berbagai aspek kehidupan, langkah-langkah yang nyata disadari perlu segera dilakukan guna memulihkan keadaan seperti sebelum terjadinya pandemi.
Namun, langkah-langkah tersebut juga harus diiringi strategi-strategi yang jelas dan tegas untuk menghindari ledakan kasus yang baru-dan mungkin lebih buruk-yang pada akhirnya mungkin memunculkan masalah-masalah baru yang lebih besar dari saat ini.
Dari hasil simulasi di atas, kita tentu perlu memahami relaksasi terhadap COVID-19 tidak dapat dilakukan sembarangan. Untuk memutus mata rantai penyebaran COVID-19, kebijakan ini paling tidak harus diikuti tiga hal penting secara bersamaan.
Pertama, mengupayakan program vaksinasi COVID-19 yang merata di seluruh daerah di Indonesia. Namun, simulasi di atas memperlihatkan bahwa program vaksinasi saja tidak cukup untuk memutuskan penyebaran virus, vaksinasi hanya dapat mempercepat selesainya proses penyebaran.
Kedua, tetap perlu menaati protokol kesehatan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini tentu termasuk proses karantina jika pulang dari berpergian, menjaga jarak dan kontak secara langsung dengan orang lain, mencuci tangan, dan memakai masker. Ketiga, adanya kesigapan fasilitas-fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan dalam menangani kasus COVID-19.
Menurunnya kasus COVID-19 di Indonesia mungkin bisa menjadi udara segar untuk pemerintah dan masyarakat. Namun, perlu diingat relaksasi akan diikuti dengan dibukanya pembatasan-pembatasan yang dilakukan, sehingga berbagai negara di belahan dunia saat ini masih berjuang menghadapi pandemi ini.
Tercapainya target vaksinasi, kewaspadaan untuk terus menaati protokol kesehatan, dan kesigapan tenaga dan fasilitas medis merupakan tiga hal yang sangat kritis untuk melangkah keluar dari masa pandemi. Kondisi saat ini bukanlah kondisi yang menjadikan kita lengah seharusnya, tetapi Indonesia harus lebih siap dengan strategi-strategi untuk membuat kondisi menjadi lebih baik. Jangan sampai keadaan yang saat ini dialami Negeri Merlion harus dialami oleh Indonesia!
 Foto: (dok Dimitri Mahayana) |
*Dr Ir Dimitri Mahayana, M Eng adalah Dosen STEI ITB Kelompok Keahlian Kendali dan Komputer, sekaligus Chief Lembaga Riset Telematika Sharing Vision, Bandung. Bisa dihubungi melalui dmahayana@sharingvision.com.