Kejanggalan Plandemic, Film Konspirasi COVID-19 yang Kontroversial
Hide Ads

Kejanggalan Plandemic, Film Konspirasi COVID-19 yang Kontroversial

Aisyah Kamaliah - detikInet
Jumat, 29 Mei 2020 16:50 WIB
Meski rilis pada 4 Mei silam, film  Plandemic yang menampilkan seorang ilmuwan kontroversial, Dr Judy Mikovits, masih banyak dicari orang. Namun kali ini berbeda, orang-orang justru mengecek mengenai kebenaran dan kejanggalan yang ada dalam video tersebut.

Sebagai latar belakang, Plandemic dibuat oleh Mikki Willis yang merupakan produser film. Dari video ini, Dr Judy menjelaskan pandangannya mengenai COVID-19 yang ia yakini sebagai bagian dari konspirasi dan menyeret nama Dr Anthony Fauci hingga Bill Gates.
Mengupas kejanggalan yang ada pada film 'Plandemic'. Foto: Internet
Jakarta -

Meski rilis pada 4 Mei silam, film dokumenter Plandemic yang menampilkan seorang ilmuwan kontroversial, Dr Judy Mikovits, masih banyak dicari orang. Namun kali ini berbeda, orang-orang justru mengecek mengenai kebenaran dan kejanggalan yang ada dalam video tersebut.

Sebagai latar belakang, Plandemic dibuat oleh Mikki Willis yang merupakan produser film. Dari video ini, Dr Judy menjelaskan pandangannya mengenai COVID-19 yang ia yakini sebagai bagian dari konspirasi dan menyeret nama Dr Anthony Fauci hingga Bill Gates.

detikINET telah merangkum dari berbagai sumber mengenai kejanggalan dari video Plandemic yang berakhir pada penurunan paksanya di YouTube.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

1. Klaim dipenjarakan tanpa sebab

The Whittemore Peterson Institute for Neuro-Immune Disease memecat Mikovits pada September 2011 sebagai direktur penelitian setelah studinya yang menghubungkan retrovirus tikus dengan sindrom kelelahan kronis didiskreditkan dan ditarik kembali oleh Science, sebuah jurnal peer-review bergengsi.

Meski ia menyangkal, faktanya pada November 2011, ia diajukan tuntutan pidana karena diduga mencuri data komputer, buku catatan, dan properti lainnya dari institut. Mikovits sempat dipenjara sebentar di California atas tuduhan kriminal. Pada 11 Juni 2012, kantor kejaksaan mengajukan petisi untuk memberhentikan dakwaan tanpa prasangka.

ADVERTISEMENT

2. Klaim bahwa virus Corona dimanipulasi

Justru banyak ilmuwan yang berpendapat sebaliknya. Struktur genetik pada novel coronavirus disebutkan tidak mungkin dirancang dari sebuah lab.

Sebuah artikel di Nature (baca DI SINI untuk lengkapnya), jurnal ilmiah juga menuliskan hasil penelitian mereka mengenai COVID-19.

"Analisis kami menunjukkan dengan jelas bahwa SARS-CoV-2 bukan buatan lab atau virus yang dimanipulasi secara sengaja," tulis penelitian tersebut.

Kendati demikian, ada juga yang menaruh perhatian pada asal muasal virus ini. Ilmuwan top di Australia bahkan meminta ada investigasi khusus untuk menyelidiki asal muasal sesungguhnya COVID-19 lantaran timnya menemukan bahwa virus tersebut secara unik bisa beradaptasi untuk menginfeksi manusia.

Profesor Nikolai Petrovsky yang memimpin mengatakan COVID-19 bukan infeksi penyakit hewan ke manusia biasa karena tampaknya punya kemampuan luar biasa untuk masuk ke tubuh manusia sejak hari pertama. Ada juga Profesor Clive Hamilton dari Australia yang menaruh kecurigaan virus SARS-CoV-2 bocor dari lab di Wuhan meski telah dibantah oleh Wuhan Institute of Virology. Profesor Shi Zhengli dari Wuhan Institute of Virology mengatakan virus Corona hanya 80% sama dengan SARS yang mereka miliki di lab.

3. Klaim penyakit lama dan tidak terjadi secara alami

Mengutip Politifact yang melakukan fact-checking dokumenter Plandemic, penjelasan ini adalah salah. Virus yang menyebabkan COVID-19 adalah penyakit baru bukan dari Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS).

Memang novel coronavirus mirip dengan SARS dalam beberapa hal. Keduanya adalah virus Corona manusia yang diduga berasal dari kelelawar serta menyebabkan penyakit pernapasan dan menyebar melalui batuk dan bersin.

Tetapi virus ini memiliki 79% kesamaan genetik, menurut para peneliti. Coronavirus novel ini lebih mirip secara genetik dengan coronavirus yang diturunkan kelelawar lainnya daripada SARS.

4. Klaim Hydroxychloroquine efektif melawan virus Corona

Nah, yang ini belum bisa dibilang salah, tapi tepatnya terlalu dini untuk menyimpulkan. Sejauh ini tidak ada obat atau vaksin untuk SARS atau coronavirus baru.

Sementara beberapa penelitian telah menemukan bahwa hydroxychloroquine dapat mengurangi beberapa gejala yang terkait dengan COVID-19, penelitian lain tidak menemukan efek yang sama.

Dengan lebih dari 50 penelitian yang sedang dikerjakan, serta uji coba klinis NIH, terlalu dini untuk mengatakan apakah obat ini adalah pengobatan yang layak untuk coronavirus. Beberapa negara juga telah membatasi penggunaan hydroxychloroquine mengingat keterbatasan informasi tentang bagaimana kerja obat mempengaruhi virus Corona.

Halaman 2 dari 2
(ask/fay)