Tingkat kematian di berbagai daerah di Indonesia berbeda-beda saat pandemi influenza 1918. Namun hasil perhitungan Siddarth dengan rumus demografi mendapati angka 4,26-4,37 juta orang untuk Jawa dan Madura saja, karena pulau-pulau lain belum ada data sensus penduduknya.
Kenapa bisa banyak banget korban jiwanya? University of Melbourne memuat tulisan dari kandidat doktor Ravando Lie berjudul 'Learning (or failing to learn) from the lessons of the 1918 Spanish Flu'. Ravando mengungkap soal respons yang lambat dan cenderung menganggap remeh dari pemerintah Hindia Belanda.
Masyarakat tradisional juga larut dalam mitos yang dipercayai bisa menangkal penyakit, namun tidak terbukti. Ketika jumlah pasien meningkat pesat, rumah sakit kolonial pun kewalahan.
Pemerintah kolonial Hindia Belanda menurut temuan Ravando menyalahkan pribumi yang hidupnya tidak bersih dan menolak pengobatan barat. Sementara mereka juga dikritik oleh DPR Hindia Belanda (Volksraad) karena lambat bertindak. Pada akhirnya pemerintah kolonial dianggap gagal mengatasi pandemi influenza 1918-1919.
Saatnya mengingat-ingat lagi sejarah. 100 Tahun lalu Indonesia pernah dilanda pandemi global yang lebih mengerikan. Pelajarannya adalah, masyarakat jangan percaya desas-desus terkait COVID-19 seperti halnya 100 tahun lalu masyarakat percaya mitos-mitos.
Carilah informasi yang benar dari pihak yang berwenang memberikan keterangan soal COVID-19. Nah untuk pemerintah, pelajarannya adalah jangan mengulangi kesalahan yang sama dengan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Pemerintah dituntut gesit dan kompak dari pusat sampai daerah untuk membendung pandemi ini. Indonesia harus bersatu!