Tikus dan manusia memiliki otak yang sangat mirip yang terdiri dari jenis sel otak yang serupa pula. Secara teori, itu membuat tikus menjadi subjek uji yang ideal untuk para ahli saraf.
Tapi kenapa obat yang berhasil di tikus belum tentu bereaksi yang sama juga di tubuh manusia? Peneliti dari Allen Institute for Brain Science di Seattle menemukan jawabannya seperti telah dikutip detikInet dari Live Science.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mereka secara khusus melihat bagian otak yang disebut medial temporal gyrus, yang terlibat dalam pemrosesan bahasa dan nalar. Para peneliti menyortir hampir 16.000 sel dari wilayah otak ini dan mengidentifikasi 75 jenis sel yang berbeda.
Ketika mereka membandingkan sel-sel manusia dengan set data sel-sel tikus, mereka menemukan bahwa tikus memiliki bagian-bagian yang mirip dengan hampir semua sel-sel otak manusia. Tetapi ketika mereka melihat gen mana yang diaktifkan atau dimatikan di dalam sel-sel itu, mereka menemukan perbedaan mencolok antara sel-sel tikus dan manusia.
Misalnya, serotonin salah satu bahan kimia otak yang mengatur nafsu makan, suasana hati, memori dan tidur. Nah, bagian di mana reseptor serotonin pada tikus itu ditemukan pada sel yang beda dengan manusia.
Jadi obat yang meningkatkan kadar serotonin di otak, seperti yang digunakan untuk mengobati depresi, mungkin efeknya akan berbeda ketika diterapkan ke manusia.
"Intinya adalah ada banyak persamaan dan perbedaan antara otak kita dan otak tikus," kata Christof Koch, kepala ilmuwan dan presiden Institut Allen untuk Brain Science, dalam sebuah pernyataan.
"Jika Anda ingin menyembuhkan penyakit otak manusia, Anda harus memahami keunikan otak manusia," tambahnya.
(ask/fyk)