Kematian dedengkot Bumi datar, Mike Hughes, yang berulangkali coba menerbangkan roket buatan sendiri untuk membuktikan wujud Bumi, kembali membuat topik itu diangkat ke permukaan. Sains sudah memastikan Bumi itu bulat, tapi penganut Bumi datar masih tetap ada.
"Sains mereka patut ditertawakan, bukti mereka tak berdasar, tapi itu tak menghentikan penganut Flat Earth melakukan banyak upaya," tulis kolumnis sains Washington Post, Mathew Cappucci.
Ia lantas menguraikan panjang lebar berbagai dampak menyeramkan yang akan terjadi seandainya benar Bumi itu datar, bukan bulat. Manusia menurutnya banyak yang akan tewas seketika. Hal ini terkait gaya gravitasi di mana setiap molekul udara ditarik ke inti Bumi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jika Bumi datar, bagian besar dari udara akan ditarik menuju inti piringan datar yang dipercaya para Flat Earth. Maka tekanan udara akan bervariasi dari hampir nol, atau tidak ada atmosfer di pinggiran piringan, sampai jumlah masif di tengah-tengahnya," papar dia.
"Jadi misalnya Anda tinggal di Australia atau selatan Amerika Selatan, mungkin Anda akan kehabisan napas karena defisit oksigen," tambahnya seperti dikutip detikINET.
Kemudian Matahari tidak akan tenggelam. Menurut penganut Bumi datar, Matahari mengitari piringan Bumi sekitar 4.800 kilometer di atas Bumi. Maka, bintang ini akan selalu bersinar, Bumi tak mengalami malam.
Penganut Bumi datar menurut Matthew punya hitungan sendiri soal ukuran Matahari ataupun planet ini. Lebar Matahari disebut sekitar 51 kilometer sedangkan permukaan Bumi datar disebut hampir 2,5 kali lipat permukaan Bumi bulat. Maka, Matahari itu terlalu kecil untuk menyinari seluruhnya sehingga banyak manusia akan sangat kedinginan dan tewas.
Hal sebaliknya terjadi jika permukaan Bumi datar diasumsikan sama ukurannya dengan permukaan Bumi bulat. Dalam kasus ini, Matahari akan terlampau panas sinarnya sehingga manusia akan banyak yang tidak kuat menghadapinya.
(fyk/fyk)