Nasib Malang Startup yang Pernah Bernilai Rp 667 Triliun
Hide Ads

Nasib Malang Startup yang Pernah Bernilai Rp 667 Triliun

Fino Yurio Kristo - detikInet
Selasa, 01 Okt 2019 22:40 WIB
Nasib Malang Startup yang Pernah Bernilai Rp 667 Triliun
Kantor WeWork. Foto: Reuters
California - WeWork adalah salah satu startup paling mentereng. Bergerak di bidang layanan berbagi kantor, WeWork didukung penuh oleh raksasa telekomunikasi asal Jepang, Softbank. Sayang belakangan, startup ini terpuruk.

Pada masa puncak, valuasi WeWork pernah bernilai USD 47 miliar atau di kisaran Rp 667 triliun. Salah satu pendirinya yang juga menjabat CEO, Adam Neumann, kaya raya dengan harta di kisaran USD 3 miliar.

WeWork mendesain kantor baik fisik maupun virtual bagi entrepreneur dan perusahaan. Mereka memiliki 5.000 karyawan yang tersebar di 32 negara.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT


Sayang seiring berjalannya waktu, praktik bisnis WeWork banyak dipertanyakan. Pada tahun 2018, diketahui mereka mengalami kerugian masif hingga USD 2 miliar.

Menjelang rencana IPO atau berjualan saham pada publik, WeWork pun merilis dokumen keuangannya yang mengejutkan. Mereka ternyata masih merugi USD 900 juta pada paruh pertama 2019 dan memiliki kewajiban sewa USD 47 miliar.

Pendapatan WeWork memang tumbuh dua kali lipat per tahun. Namun tidak peduli betapa besar pertumbuhan pendapatan, pengeluarannya jauh lebih tinggi. Akibatnya, Neumann pun dipaksa lengser dari posisinya dan rencana IPO dibatalkan.

(ke halaman selanjutnya)

Nasib Malang Startup yang Pernah Bernilai Rp 667 Triliun

Adam Neumann. Foto: Reuters
Neumann juga disorot karena kelakuannya yang dianggap kurang pantas, seperti gemar berpesta, menghisap mariyuana di pesawat pribadinya, meeting dengan minuman beralkohol dan tingkah minus lainnya.

Kini adalah tugas CEO baru untuk menekan pengeluaran dalam rangka menekan kerugian. IPO dibatalkan menurut WeWork agar mereka bisa lebih fokus pada urusan bisnisnya.

Kejatuhan WeWork memicu sorotan pada startup dengan valuasi begitu tinggi, tapi masih jauh dari tahap menghasilkan laba. Pada akhirnya, mereka sendiri yang akan kerepotan.

"Satu dekade ke belakang memperlihatkan kemunculan kapitalisme yang tidak sehat, superstar korporat yang tidak hanya merugi miliaran dolar, tapi tidak akan menghasilkan profit dalam waktu dekat," tulis kolumnis teknologi CNN, Nicole Gelinas.

"Tentunya, semua perusahaan yang merugi itu mengklaim model bisnis mereka suatu hari akan berfungsi dan saat itulah keuntungan mengalir. Tapi kapitalisme tradisional beroperasi di bawah satu kekuatan, yaitu laba," tandasnya.

"Jika sebuah perusahaan tidak bisa menghasilkan untung dari produk atau layanan di harga yang mau dibayar konsumen, perusahaan itu akan keluar dari bisnis, meninggalkan ruang di pasar bagi kompetitor yang lebih efisien," paparnya.

Halaman 2 dari 2
(fyk/fay)