Pada masa puncak, valuasi WeWork pernah bernilai USD 47 miliar atau di kisaran Rp 667 triliun. Salah satu pendirinya yang juga menjabat CEO, Adam Neumann, kaya raya dengan harta di kisaran USD 3 miliar.
WeWork mendesain kantor baik fisik maupun virtual bagi entrepreneur dan perusahaan. Mereka memiliki 5.000 karyawan yang tersebar di 32 negara.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sayang seiring berjalannya waktu, praktik bisnis WeWork banyak dipertanyakan. Pada tahun 2018, diketahui mereka mengalami kerugian masif hingga USD 2 miliar.
Menjelang rencana IPO atau berjualan saham pada publik, WeWork pun merilis dokumen keuangannya yang mengejutkan. Mereka ternyata masih merugi USD 900 juta pada paruh pertama 2019 dan memiliki kewajiban sewa USD 47 miliar.
Pendapatan WeWork memang tumbuh dua kali lipat per tahun. Namun tidak peduli betapa besar pertumbuhan pendapatan, pengeluarannya jauh lebih tinggi. Akibatnya, Neumann pun dipaksa lengser dari posisinya dan rencana IPO dibatalkan.
(ke halaman selanjutnya)
Nasib Malang Startup yang Pernah Bernilai Rp 667 Triliun
Adam Neumann. Foto: Reuters
|
Kini adalah tugas CEO baru untuk menekan pengeluaran dalam rangka menekan kerugian. IPO dibatalkan menurut WeWork agar mereka bisa lebih fokus pada urusan bisnisnya.
Kejatuhan WeWork memicu sorotan pada startup dengan valuasi begitu tinggi, tapi masih jauh dari tahap menghasilkan laba. Pada akhirnya, mereka sendiri yang akan kerepotan.
Baca juga: Startup Unicorn Zomato PHK 540 Karyawan |
"Satu dekade ke belakang memperlihatkan kemunculan kapitalisme yang tidak sehat, superstar korporat yang tidak hanya merugi miliaran dolar, tapi tidak akan menghasilkan profit dalam waktu dekat," tulis kolumnis teknologi CNN, Nicole Gelinas.
"Tentunya, semua perusahaan yang merugi itu mengklaim model bisnis mereka suatu hari akan berfungsi dan saat itulah keuntungan mengalir. Tapi kapitalisme tradisional beroperasi di bawah satu kekuatan, yaitu laba," tandasnya.
"Jika sebuah perusahaan tidak bisa menghasilkan untung dari produk atau layanan di harga yang mau dibayar konsumen, perusahaan itu akan keluar dari bisnis, meninggalkan ruang di pasar bagi kompetitor yang lebih efisien," paparnya.