Bagaimana AirVisual Tunjuk Jakarta Jadi Kota Berudara Terburuk?
Hide Ads

Bagaimana AirVisual Tunjuk Jakarta Jadi Kota Berudara Terburuk?

Muhamad Imron Rosyadi - detikInet
Senin, 29 Jul 2019 13:32 WIB
Jakarta. Foto: Muhammad Ridho
Jakarta - Jakarta menjadi kota paling berpolusi di dunia versi AirVisual pagi ini. Air Quality Index (AQI) dari pusat bisnis dan pemerintahan Indonesia ini berada di angka 188.

AQI sendiri merupakan indeks yang menggambarkan tingkat kualitas udara di suatu daerah. Ia dihitung berdasarkan enam jenis polutan utama, yakni PM 2,5, PM 10, karbon monoksida, asam belerang, nitrogen dioksida, dan ozon permukaan tanah.


Rentang nilai dari AQI adalah 0 sampai 500. Makin besar nilainya, maka makin tinggi tingkat polusi udara di wilayah tersebut. Berikut skalanya:

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

- 0-50: kualitas udara bagus
- 51-100: kualitas udara moderat atau sedang
- 101-150: kualitas udara tidak sehat bagi orang yang sensitif
- 151-200: kualitas udara tidak sehat
- 201-300: kualitas udara sangat tidak sehat
- >301: kualitas udara berbahaya

Dengan begitu, kualitas udara di Jakarta masuk kategori tidak sehat. Pihak AirVisual pun merekomendasikan agar kelompok sensitif mengurangi aktivitas di luar ruangan. Lalu, setiap orang perlu mengenakan masker polusi. Pemurni udara pun perlu dinyalakan bila udara dalam ruangan juga tidak sehat.

Lantas, bagaimana AirVisual mengukur kualitas udara di lebih dari 10 ribu lokasi secara global? Untuk itu, kita harus kembali ke 2016, kala mereka baru merilis pemantau kualitas udara bernama AirVisual Node.
Bagaimana AirVisual Tunjuk Jakarta Jadi Kota Udara Terburuk?Foto: detikinet

Dalam pernyataan resminya, AirVisual Node menggunakan laser untuk menghitung partikel-partikel yang ada di udara. Kemudian, datanya diproses menggunakan algoritma khusus untuk dikalibrasi dengan faktor eksternal seperti temperatur dan kelembapan.

Agar lebih komprehensif, mereka juga menghimpun data cuaca, data milik pemerintah-pemerintah terkait, serta data dari satelit. Lalu, seluruh data tersebut masuk ke proses modelisasi dan validasi.

Modelisasi adalah pembentukan prakiraan kualitas udara dan kandungan polutan yang ada di dalamnya. Sedangkan validasi adalah pengujian kebenaran terhadap data yang dihimpun.

Dari situ, AirVisual Node mampu memberikan informasi seperti kadar PM hingga CO2 secara real-time dan prediksi kualitas udara ke depan. Selain itu, mereka juga dapat memberikan informasi tambahan mengenai kualitas udara di luar sehingga dapat memberikan peringatan kepada pengguna apakah sebaiknya berada di dalam rumah atau boleh keluar.

Data dan kemampuan tersebut yang kemudian disediakan AirVisual melalui aplikasi pada ponsel serta situs resminya. Selain itu, mereka juga menyediakan AirVisual Pro yang berupa layar pintar untuk memberikan info lebih mendalam mengenai kualitas udara.

Untuk menampilkan tingkat kualitas udara tiap-tiap kota, AirVisual memiliki dua cara. Pertama dengan peta dua dimensi, dan satunya adalah AirVisual yang yang mirip Google Earth namun menampilkan informasi mengenai kualitas udara di puluhan ribu titik di seluruh dunia.


AirVisual didirikan pada tahun 2015. Penciptanya adalah Yann Boquillod, entrepreneur yang berasal dari Perancis. Idenya bermula ketika saat berada di China, Yann ingin menciptakan solusi untuk mengukur level polusi. Ia ingin tahu seberapa aman udara di China yang terkenal dengan polusinya.

"Saya pikir jika saya cemas, harusnya ada jutaan orang yang berpikiran sama dengan saya. Itulah ketika saya memutuskan membuat bisnis dengan target utama adalah China," sebutnya.

"Kami adalah yang pertama meluncurkan aplikasi mobile untuk mengecek polusi udara secara real time dengan perkiraan kualitas udara per jam. Itu adalah produk hits dan mulai meraup banyak pengguna," katanya.


(mon/fyk)