Tudingan itu dilontarkan Durov melalui Twitter, di mana ia menyebut serangan DDoS berskala negara itu berasal dari alamat IP yang berlokasi di China. Serangan DDoS berskala negara yang dimaksud Durov mempunyai ukuran 200 sampai 400 Gb/s.
Durov pun menyebut serangan DDoS itu terjadi berbarengan dengan aksi demonstrasi besar-besaran di Hong Kong, yang memprotes Rancangan Undang-undang (RUU) ekstradisi di negara tersebut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Telegram, yang merupakan layanan pengiriman pesan terenkripsi, adalah salah satu media yang digunakan oleh para pendemo untuk merencanakan demo tersebut agar tak terdeteksi oleh pihak berwajib, demikian dikutip detikINET dari The Verge, Kamis (13/6/2019).
Melalui akun Twitter resminya, Telegram menyebut layanannya itu diserang oleh 'gadzillions of garbage request,' yang mayoritas alamat IP-nya berasal dari China. Serangan itu merupakan bagian dari serangan DDoS yang akhirnya sukses mematikan layanan Telegram yang kemudian tak bisa melayani penggunanya.
Mereka pun menyebut permintaan sampah itu biasanya dilakukan oleh botnet, yaitu sekelompok komputer yang sudah terinfeksi oleh malware.
Serangan DDoS itu pun memunculkan pertanyaan terkait percobaan pemerintah China untuk 'mematikan' layanan pengiriman pesan terenkripsi tersebut agar tak dipakai untuk merencanakan demonstrasi tersebut.
Ada juga laporan dari Bloomberg yang menyebut kalau layanan pengiriman pesan terenkripsi seperti Telegram dan Firechat tengah trending di App Store Apple di Hong Kong.
Para pendemo di Hong Kong pun menutupi wajahnya agar tak terdeteksi oleh sistem pengenalan wajah, juga menghindari penggunaan kartu transportasi publik, yang bisa merekam lokasi si penggunanya.
![]() |
Sebagai informasi, aksi demonstrasi besar-besaran yang terjadi di Hong Kong itu dilakukan untuk memprotes keberadaan RUU ekstradisi, yang bakal berlaku untuk seluruh warga Hong Kong, warga negara asing dan warga China yang tinggal atau bepergian ke Hong Kong, yang dikhawatirkan akan melemahkan penegakan hukum di Hong Kong.
Diketahui bahwa RUU ekstradisi itu akan mengizinkan ekstradisi ke setiap yurisdiksi yang sebelumnya tidak memiliki perjanjian ekstradisi dengan Hong Kong, termasuk China daratan.
Aksi memprotes RUU itu digelar sejak Minggu (9/6) lalu, yang saat itu diklaim diikuti oleh lebih dari 1 juta orang, yang tercatat sebagai unjuk rasa jalanan terbesar sejak penyerahan Hong Kong ke China oleh Inggris tahun 1997 lalu.
(asj/krs)