Direktur Utama Telkom Alex J. Sinaga bercerita, pada saat 2G lahir dan secara teknologi menggantikan 1G. Perubahan yang terjadi sejatinya tak terlalu signifikan, dimana 2G memungkinkan pengguna untuk bisa berkirim teks.
Kemudian lahir internet di fixed network, lalu lahirlah 3G. Dimana teknologi 3G ini mulai sedikit kompleks, karena tidak hanya perubahan teknologi di jaringan, tetapi gadgetnya juga berubah. Sedangkan gadget dan network itu industri yang berbeda. Sementara dulu seperti telur dan ayam, siapa yang mau duluan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: Internet Super Cepat 5G untuk Apa Sih? |
Kemudian di ujung era handset 3G, ternyata para produsen handset sudah mengambil pelajaran dari sebelumnya di mana pada seri terakhir dari handset 3G justru sudah support 4G. Meskipun operator belum ada yang menjual layanan 4G.
"Sampai di tahun 2014, Telkomsel meluncurkan jaringan 4G-nya zaman itu sudah ada 2,5 juta pelanggan Telkomsel yang sudah enable 4G, jadi tidak selambat dari 2G ke 3G. Jadi kalau kita lihat dari 2G ke 4G itu relatif mudah, artinya antara kapabilitas network, handset, cuma bukan berarti ini tidak ada persoalan," papar Alex yang sempat menjabat sebagai Dirut Telkomsel sebelumnya.
Persoalan di era 4G sejatinya sempat muncul terkait monetisasi. Untungnya, saat itu bermunculan startup digital pembuat aplikasi. Sehingga 4G tak cuma pakai telepon dan internetan melainkan juga berkembang dengan lahirnya jutaan aplikasi. Dan cerita selanjutnya, 4G sekarang bisa dianggap sudah mature dengan cepat.
Kini, "persoalan" justru datang dari 5G, teknologi ini sejatinya sudah dengan cepat berkembang. Dan tawaran kecepatan transfer data yang dijanjikan pun bisa di angka 10 Gbps, atau 100 kali lebih ngebut dibandingkan 4G.
Tak ayal, di MWC 2019 sendiri tagline utama yang ditonjolkan adalah 5G. Sederet perusahaan berbasis teknologi yang ambil bagian di acara ini pun seraya kompak menjual mimpi 5G. Mulai dari menawarkan kemampuan mobil tanpa sopir, menggerakkan robot dari jarak jauh, menggelar operasi bedah lintas benua, dan hal futuristik lainnya.
Namun dari sisi penyedia layanan sejatinya masih bingung soal implementasi (use case) yang cocok sehingga para pelaku industri bisa mendapatkan return (pemasukan yang layak) usai mengeluarkan investasi yang tidak sedikit tersebut.
"5G jadi PR-nya masih banyak, tetapi nggak perlu sedih. Dunia juga mengalami masalah yang sama, jadi pusingnya bareng-bareng lah," kata Alex yang kini juga menduduki posisi Komisaris Utama Telkomsel.
Banyak Kepala
Untuk itu, ia menambahkan, network provider ataupun service provider tidak boleh mikir sendiri-sendiri untuk mencari jalan keluar dari persoalan 5G. Telkomsel pun di sela-sela perhelatan MWC 2019 meneken kesepakatan dengan Huawei dan Cisco untuk joint innovation.
Agar dengan strategi "banyak kepala" ini baik dari sisi network provider (Telkomsel) dan service provider (Huawei dan Cisco) dapat lebih efisien dan cepat dibandingkan kalau persoalan ini dipikirkan sendiri-sendiri.
"Kami sebutlah itu joint innovation, joint research center yang sebetulnya riset untuk teknologi karena mereka sendiri sudah punya roadmap untuk itu, tetapi joint use case dan bisnis modelnya," ujar Alex melanjutkan.
![]() |
Tetapi memang kecenderungannya ternyata use case 5G bukan untuk personal, dominan enterprise dan pemerintah. Namun implementasi nyata dan bisnis modelnya itu seperti apa ini masih perlu duduk bersama untuk dimatangkan.
Mungkin bisnis model teknologi provider dan service provider pun bisa jadi harus berubah. Sampai 4G misalnya adalah selling dan buying antara teknologi provider dan service provider. Tapi di 5G ini jadi terbuka pikiran kita, dimana mungkin bisnis model antara teck provider dan service provider mungkin perlu ditemukan bisnis model yang baru selain bisnis model ke end user.
Video: Keren Banget Robot Humanoid yang Digerakkan Sensor 5G
[Gambas:Video 20detik]
5G Rasa 4G
Persoalan lain yang muncul selain use case, bisnis model, dan isu teknis adalah terkait spektrum yang bisa digunakan untuk menjalankan 5G agar lebih maksimal.
Menurut Direktur Utama Telkomsel Ririek Adriansyah, 5G membutuhkan lebar pita hingga 100 MHz agar dapat berlari maksimal di mana alokasinya berdasarkan 3GPP sudah bisa mengusung teknologi netral, artinya di spektrum manapun.
Nah, membebaskan lebar pita 100 MHz ini ya bakal menjadi tugas berat regulator dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk dieksekusi. Sebab kalau cuma dikasih jatah 20 MHz seperti 4G bisa-bisa cuma bakal menjadi 5G rasa 4G.
Baca juga: 97% Populasi RI Terjangkau Layanan 4G |
"Ini tricky, dengan kenyataan seperti sekarang ini penting untuk memilih operator yang pas untuk mengelola 100 MHz. Jadi nanti kalau mau tender harus dilakukan dengan prudent sehingga spektrum yang terbatas itu bisa dimanfaatkan maksimal," kata Ririek.
Indra Mardiatna, Vice President Technology & System Telkomsel menambahkan, untuk ponsel 5G yang baru diluncurkan saat ini oleh Samsung, Huawei, LG, dan Oppo sendiri sudah support di spektrum 2,6 GHz dan 3,5 GHz. Mereka antara lain dibekali oleh chipset Snapdragon 855 Qualcomm, Balong 500 Huawei, dan Exynos Samsung.
"Harapannya ke depan, chipset di ponsel 5G bisa support di spektrum 2,3 GHz. Dan secara teknis lebih susah dari 4G ke 5G karena requirement-nya lebih kompleks, gak cuma sisi radio tapi core juga yang lebih virtualisasi, dan transport latensi harus rendah, bandwidth harus besar, jadi end to end. Kalau tidak maka cuma menjadi 5G rasa 4G," pungkasnya.
(ash/krs)