"Tahun 2015 itu USD 321 juta (Rp 4,7 triliun), tahun 2016 itu USD 704 juta (Rp 10,4 triliun), tahun 2017 itu USD 882 juta (Rp 13,1 triliun)," kata Deputi Infrastruktur Bekraf, Hari Santosa Sungkari saat peluncuran game ShellFire di Telkomsel Smart Office, Jakarta, Senin (1/10/2018).
Namun, tidak dapat dielakkan kalau game-game yang mendominasi di kalangan gamer Indonesia masih merupakan game yang dikembangkan developer luar negeri.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Untuk itu, Hari mengajak developer game lokal untuk mengangkat tema yang menunjukkan kearifan lokal membedakan karyanya dengan game asing.
"Saya selalu bilang kepada game developer Indonesia, kita jangan coba membuat game yang menirukan Point Blank atau Mobile Legend. No, kita punya ceruk-ceruk khusus, market-market khusus," kata Hari.
"Ekonomi kreatif di Indonesia itu adalah mengangkat kearifan lokal dibungkus dengan kemasan kekinian. Jadi kalau kita bikin yang kayak gitu kita akan beda dengan game-game yang dibikin orang luar," lanjutnya.
Ia yakin dengan ekosistem industri game yang semakin luas, akan membantu produktivitas output game developer di Indonesia. Karena saat ini, kontribusi dari game developer masih sangat minim.
"Itu ada kira-kira 171 studio di Indonesia yang membuat game. Perusahaannya sendiri ada 200. Jadi di luar itu, ada publisher dan semua perusahaan yang ada di ekosistemnya," jelas Hari.
"Namun peran dari game developer itu kurang dari 5%. Nah, inilah yang harus kita tingkatkan pelan-pelan," pungkasnya.
(rns/krs)