Akal imitasi atau artificial intelligence (AI) dalam buku Revolusi Cyberlaw Indonesia: Revisi UU ITE 2024 diposisikan sebagai tantangan hukum baru yang sangat kompleks. AI membawa dampak besar pada kehidupan manusia, mulai dari bidang medis, keuangan, transportasi, hingga sistem hukum itu sendiri.
Dalam konteks ini, hukum tidak bisa hanya dipandang sebagai pengatur yang pasif, tetapi harus aktif merespons perkembangan teknologi yang berlangsung begitu cepat. AI mampu mengambil keputusan signifikan yang berimplikasi pada hak asasi manusia dan tatanan sosial, sehingga hukum dituntut memberikan kerangka yang jelas mengenai siapa yang bertanggung jawab, bagaimana perlindungan data dijamin, serta bagaimana bias algoritmik bisa diminimalkan.
Pada Bab 1 buku ini, penulis membahas fungsi hukum dalam menghadapi kecerdasan buatan. Hukum ditempatkan sebagai instrumen aktif yang tidak hanya mengatur, tetapi juga mencegah penyalahgunaan. Dengan big data dan algoritma canggih, AI menghadirkan peluang besar sekaligus konsekuensi pada privasi, akuntabilitas, dan perlindungan hak asasi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bab 2 melanjutkan dengan pembahasan akuntabilitas. Penulis menegaskan bahwa pengembang maupun pengguna sistem harus bertanggung jawab penuh atas setiap keputusan yang dihasilkan mesin. Akuntabilitas hukum mencegah lahirnya kondisi di mana AI dilepas begitu saja tanpa kendali manusia, yang pada akhirnya dapat merugikan masyarakat.
Bab 3 mengarahkan perhatian pada isu privasi dan keamanan data. AI yang membutuhkan akses besar terhadap data pribadi membawa risiko serius penyalahgunaan. Oleh sebab itu, rekognisi hukum terhadap pengelolaan data pribadi menjadi syarat mutlak agar AI tidak mengorbankan kebebasan individu atas nama efisiensi.
Bab 4 membahas bias dan diskriminasi. Penulis menunjukkan bagaimana data yang timpang atau algoritma yang keliru dapat menghasilkan keputusan yang tidak adil. Untuk itu, audit algoritma, pengawasan independen, serta regulasi yang melarang diskriminasi dipandang sangat penting agar AI beroperasi secara adil dan inklusif.
Praktik Internasional
Selanjutnya Bab 5 memperluas perspektif dengan menyoroti praktik internasional. Di Eropa, perlindungan data pribadi diatur ketat melalui General Data Protection Regulation (GDPR), yang memberi hak sangat luas bagi individu untuk mengetahui, membatasi, bahkan meminta penghapusan data mereka. Regulasi ini menjadi standar global mengenai bagaimana privasi diposisikan sebagai hak fundamental. Jadi, berkembang konsep kehati-hatian dalam penggunaan AI untuk layanan publik, seperti kesehatan dan pendidikan, yang tidak boleh diserahkan sepenuhnya kepada sistem otomatis.
Sementara di Amerika Serikat, pembahasan lebih menekankan aspek etika dan akuntabilitas. Ryan Calo, salah satu pakar hukum teknologi yang dikutip dalam buku ini, menekankan pentingnya regulasi atas privasi data, keputusan otomatis, serta perlindungan konsumen. Perbandingan ini memperlihatkan bahwa Indonesia perlu belajar dari negara maju agar hukum yang dibangun bersifat adaptif sekaligus protektif. Amerika Serikat dengan pendekatan berbasis inovasi dan kebebasan pasar menunjukkan pentingnya menjaga keseimbangan antara kepastian hukum dan dorongan inovasi.
Penulis buku mengingatkan, pendekatan serupa perlu dipertimbangkan di Indonesia agar teknologi tidak merugikan kelompok rentan. Karenanya, buku ini dengan cermat menghubungkan perbedaan tersebut ke dalam kerangka pemikiran hukum Indonesia, sehingga pembaca memahami bahwa regulasi tidak hanya soal teks hukum, tetapi juga arah politik hukum dalam merespons teknologi.
Bab terakhir ini juga menegaskan pentingnya legislasi teknologi sebagai fondasi keadilan sosial. AI yang berkembang tanpa aturan hukum hanya akan melahirkan ketidakpastian, kesenjangan sosial, bahkan ancaman pada keselamatan manusia. Oleh karena itu, hukum diposisikan sebagai pagar utama agar inovasi tetap berjalan, tetapi manusia tetap menjadi pusat perlindungan.
Di balik kedalaman analisis ini, sosok Danrivanto Budhijanto memberi bobot intelektual yang kuat. Ia adalah pakar cyberlaw, hukum telekomunikasi, dan hukum ekonomi digital yang telah berkecimpung sejak 1999 lalu. Menyelesaikan doktor di Universitas Padjadjaran dengan predikat summa cum laude serta meraih Master of Laws di Amerika Serikat dengan beasiswa Fulbright, Danrivanto dikenal sebagai akademisi dan praktisi yang menggabungkan teori dengan praktik. Kariernya mencakup pengajar di Universitas Padjadjaran, Kepala Departemen Hukum TI dan Kekayaan Intelektual, arbiter di BANI, hingga staf khusus Kementerian Komunikasi dan Informatika RI era Rudiantara. Ia juga turut terlibat dalam penyusunan UU ITE 2008 dan 2016 yang menjadi tonggak hukum digital di Indonesia.
Dengan reputasi tersebut, pembahasannya tentang hukum AI dan revisi UU ITE 2024 layak dijadikan rujukan utama bagi akademisi, praktisi, maupun pembuat kebijakan yang ingin memahami arah hukum Indonesia di era kecerdasan buatan mutakhir.
Judul Buku: Revolusi Cyberlaw Indonesia
Penulis: Dr Danrivanto Budhijanto, SH, LL.M
Penerbit: PT Refika Aditama, Bandung
Tahun Terbit: Januari 2025 | 210 halaman | ISBN: 978 623 8423 880
*) Dr Muhammad Sufyan Abdurrahman, Dosen Digital Public Relations Telkom University.
Simak Video "Video: Kolaborasi OpenAI-Mattel Uji Coba Video AI Buatan Sora 2"
[Gambas:Video 20detik]
(fay/fyk)