Pelajaran Kerusuhan Agustus: Waspada Hoaks dan Deepfake di Medsos

Agus Tri Haryanto - detikInet
Selasa, 09 Sep 2025 13:08 WIB
Ilustrasi media sosial. Foto: Getty Images/iStockphoto/12963734
Jakarta -

Kerusuhan yang terjadi pada akhir Agustus lalu menjadi bukti nyata betapa media sosial kini berperan besar dalam membentuk opini publik. Bukan hanya menjadi ruang percakapan, lini masa media sosial justru memicu eskalasi keresahan karena dipenuhi hoaks, miscaption, deepfake, hingga ajakan palsu yang dibangun dengan narasi sesat pikir.

Data menunjukkan pengguna internet di Indonesia mencapai lebih dari 229 juta orang. Platform yang paling sering diakses adalah WhatsApp, Facebook, TikTok, Instagram, YouTube, dan X.

Perilaku penggunaan internet tercatat: 24,8% untuk mengakses media sosial, 15% untuk membaca berita media online, 15% untuk transaksi keuangan, dan sisanya untuk berbagai kebutuhan lain.

Dari hasil survei Digital News Report 2025, sebanyak 57% responden di Indonesia mengaku mendapatkan berita atau informasi melalui media sosial, bukan dari media online arus utama. Hal ini menjadikan lini masa media sosial bukan lagi sekadar ruang obrolan, melainkan instrumen pembentuk opini publik.

"Lantas apa yang terjadi jika yang beredar di lini masa media sosial dan viral adalah konten hoaks? Seperti miscaption, deepfake, ajakan palsu atau narasi jahat yang dibangun dengan sesat pikir (logical fallacy) Inilah pelajaran yang harus kita petik dari kerusuhan akhir Agustus lalu," ujar Harris Arthur Hedar, Ketua Dewan Pembina Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) dalam pernyataan resminya, Selasa (9/9/2025).

Ancaman Serius di Dunia Digital

Berdasarkan data Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) mencatat 1.923 hoaks terdeteksi sepanjang 2024, mayoritas bertema politik dan keamanan. Artinya, Harris mengatakan, ada produksi konten hoaks yang sengaja dilakukan oleh kelompok tertentu untuk menciptakan keresahan publik.

Menurut Harris, ada empat konten utama yang menjadi ancaman serius, di antaranya:

1. Miscaption, yakni foto atau video lama diberi keterangan baru. Contoh: Video 1998 yang diberi narasi seolah peristiwa Agustus kemarin.
2. Deepfake, berupa rekayasa audio/visual menggunakan AI. Misalnya rekaman suara sintetis Menteri Keuangan Sri Mulyani yang menyebut "guru beban negara", padahal hasil rekayasa.
3. Ajakan aksi palsu, broadcast yang mengarahkan massa ke lokasi dan waktu yang salah, sehingga memicu kerawanan spontan.
4. Narasi sesat pikir (logical fallacy), yang dikemas dalam meme atau flyer. Misalnya serangan Ad Hominem, Straw Man Fallacy, Bandwagon Fallacy, False Dichotomy, hingga Appeal to Authority.

"Keempat konten di atas; miscaption, deepfake, ajakan palsu dan narasi sesat pikir, apabila diterima secara bersamaan atau dalam rentang yang tidak terlalu jauh waktunya, maka akan saling menguatkan," jelas Harris.



Simak Video "Video Sri Mulyani Kena Deepfake, Ini Pernyataan Aslinya soal Guru-Dosen"


(agt/fay)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork