Mata-mata Saudi di Twitter Terancam Hukuman Penjara 20 Tahun
Hide Ads

Mata-mata Saudi di Twitter Terancam Hukuman Penjara 20 Tahun

Anggoro Suryo - detikInet
Kamis, 11 Agu 2022 22:01 WIB
People holding mobile phones are silhouetted against a backdrop projected with the Twitter logo in this illustration picture taken in  Warsaw September 27, 2013.   REUTERS/Kacper Pempel/Illustration/File Photo
Foto: Reuters/Kacper Pempel
Jakarta -

Mantan pegawai Twitter bernama Ahmad Abouammo diputus bersalah oleh pengadilan karena menjadi mata-mata untuk pemerintah Arab Saudi.

Dalam persidangan yang digelar di pengadilan federal San Francisco, Selasa (9/8) lalu, Abouammo diputus bersalah dalam pelanggaran berbagai pasal, termasuk tindak pencucian uang. Saat ini ia tengah menunggu dijatuhi hukuman antara 10 sampai 20 tahun penjara, demikian dikutip detikINET dari The Verge, Kamis (11/8/2022).

Saat bekerja di Twitter, Abouammo adalah menjabat sebagai media partnership manager yang bertugas untuk mencari sosok yang menonjol dari Timur Tengah dan Afrika Utara untuk dipromosikan akunnya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Namun ia memanfaatkan posisinya itu untuk mencuri data pengguna Twitter seperti alamat email, nomor telepon, dan tanggal lahir. Tentu tak semua data pengguna Twitter yang dicuri, melainkan hanya orang-orang yang datanya dibutuhkan oleh pemerintah Arab Saudi.

Kemudian Abouammo menyerahkan data tersebut ke pemerintah Arab Saudi, yang dilakukannya antara November 2014 sampai Mei 2015, dan ia kemudian mendapat bayaran dari mereka.

ADVERTISEMENT

Menurut jaksa penuntut, Abouammo dipekerjakan oleh seorang asisten Pangeran Mohammed bin Salman. Namun Abouammo disebut berkilah kalau ia hanya melakukan pekerjaannya, dan malah menyalahkan Twitter karena tidak mengamankan data penggunanya.

Kemudian pada 2021 lalu, seorang aktivis HAM bernama Ali Al-Ahmed menggugat Twitter karena dianggap tidak mengamankan data penggunanya dengan baik.

Pada 2019, Kementerian Hukum AS mendakwa Abouammo dan seorang mantan pegawai Twitter lain bernama Ali Alzabarah, dengan dakwaan spionase. Kemudian dakwaannya diperluas pada 2020 ke Ahmed Almutairi, yang dianggap sebagai otak dari aksi tersebut.

Baik Almutairi maupun Alzabarah saat ini masih menjadi buronan pemerintah Amerika Serikat.




(asj/fay)