Aneka Skenario Masa Depan UU ITE
Hide Ads

Aneka Skenario Masa Depan UU ITE

Valerie Augustine Budianto - detikInet
Sabtu, 27 Mar 2021 15:29 WIB
Titik Jenuh UU ITE
Ilustrasi UU ITE (Foto: detikcom)
Jakarta -

Polemik pasal karet UU ITE seperti momok menakutkan di masyarakat. Pasal 27 dan Pasal 28 UU ITE dinilai multi tafsir dan telah menjerat banyak korban. Banyak pihak mendesak agar kedua pasal tersebut dicabut saja.

Tujuan awal pembentukan UU ITE adalah agar ruang digital Indonesia dapat dimanfaatkan dengan lancar dan produktif serta dapat mencegah konflik di ranah maya. Terbitnya undang-undang tersebut diharapkan mampu memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi pengguna dan penyelenggara teknik informasi.

UU ITE tersebut memiliki tujuan yang baik. Namun dalam praktik, Pasal 27 dan Pasal 28 justru menimbulkan ketidakadilan karena seringkali dimanfaatkan salah satu pihak untuk membungkam pihak yang kritis, bahkan cenderung menghalangi kebebasan berpendapat dan berekspresi. Melansir SAFEnet, Rabu (24/3) sepanjang tahun 2020 sudah ada 34 kasus yang terjerumus dalam pasal karet ini.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) Dr Febby Mutiara Nelson SH MH mendukung wacana pemerintah untuk mengamandemen UU ITE. Ia mengungkapkan bahwa Pasal 27 dan Pasal 28 UU ITE bak pasal karet.

Selain isinya multitafsir, kedua pasal tersebut menimbulkan duplikasi hukum, salah satunya dengan KUHP. Febby menjelaskan bahwa Pasal 27 dan 28 UU ITE mengatur perbuatan yang dilarang, sehingga seharusnya pasal ini tidak bisa berdiri sendiri tetapi harus di-juncto-kan dengan Pasal 45 dan 45 A UU ITE.

ADVERTISEMENT

"Apakah pasal ini dapat menimbulkan kriminalisasi atau tidak, ketentuan pasal tersebut merupakan delik dikualifisir dari ketentuan serupa yang ada di dalam KUHP," kata Febby saat berbincang dengan detikcom, Sabtu (27/3/2021).

Artinya, Pasal 27 dan Pasal 28 UU ITE tersebut memberikan unsur keadaan yang memberatkan dari suatu tindak pidana serupa yang telah diatur dalam KUHP yang mengakibatkan ancaman pidananya diperberat.

Hingga saat ini sudah terdapat beberapa skenario untuk menindaklanjuti kedua pasal karet tersebut. Hotman Paris Hutapea mengusulkan agar pemerintah menghapus Pasal 27 ayat (3) UU ITE dan dimasukkan murni ke ranah hukum perdata.

Di sisi lain, ada pihak yang mengusulkan untuk merevisi kedua pasal tersebut. Ada juga yang mengusulkan bahwa kedua pasal tersebut tidak perlu direvisi melainkan hanya perlu direvisi penegakan hukumnya.

Menanggapi hal tersebut, Febby menyatakan khusus mengenai Pasal 27 dan 28 UU ITE sebaiknya dimasukkan kembali dalam KUHP dan ditempatkan dalam delik dikualifisir atau tindak pidana yang mengandung unsur yang dapat memperberat ancaman pidana seseorang.

Apabila menyoroti kedua pasal karet tersebut, ditemukan bahwa konstruksi pencemaran nama baik dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE juga diatur dalam Pasal 310-321 KUHP. Sama halnya dengan Pasal 28 ayat (2) UU ITE yang termaktub dalam Pasal 156, 156a, dan 157 KUHP. Duplikasi kedua pasal ini membuat cakupan pidana mengenai pencemaran nama baik menjadi sangat luas.

Halaman selanjutnya: jalan panjang revisi UU ITE...

Berangkat dari hal tersebut, UU ITE seharusnya menjadi agenda utama dalam Prolegnas Prioritas 2021. Namun ternyata, hasil penetapan Prolegnas Prioritas 2021 tidak memasukkan agenda revisi UU ITE di dalamnya.

"Revisi UU ITE dan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) harus dilaksanakan secara pararel dan kemudian melakukan harmonisasi dalam kedua undang-undang tersebut untuk mencegah adanya peraturan yang tumpang tindih," pungkas Febby.

Hal ini memerlukan adanya penyatuan pemidanaan yang sama, baik di dalam UU ITE, KUHP, maupun RKUHP agar tidak menghasilkan produk yang multitafsir. Akan tetapi, usulan untuk merevisi UU ITE dapat menimbulkan ketidakadilan terhadap kasus UU ITE yang sedang berjalan di pengadilan maupun yang telah diputus.

"Sehubungan dengan hal tersebut, kita harus melihat kembali pada Pasal 1 ayat (2) KUHP, yaitu apabila terjadi perubahan UU maka akan diterapkan ketentuan yang menguntungkan terdakwa," tutur Febby.

"Apabila merujuk ke pasal asal yang dimaksud dalam KUHP, maka Pasal 27 UU ITE dikategorikan sebagai delik kesusilaan," tambahnya.

Febby menegaskan bahwa dalam cyber crime, penyebaran suatu konten illegal harus disertai dengan niat (intention) dan dilakukan tanpa hak (without right). Penting untuk memperhatikan asas legalitas yang menyatakan bahwa suatu perbuatan harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Untuk itu, revisi UU ITE menjadi hal yang krusial untuk dilakukan agar dapat mewujudkan keadilan bagi para pengguna internet serta terciptanya kebebasan berpendapat dan berekspresi di dunia maya tanpa merugikan kepentingan pribadi maupun kelompok lain.