Pengungsi yang Mengurus Data Pengungsi
Hide Ads

Catatan dari Aceh

Pengungsi yang Mengurus Data Pengungsi

- detikInet
Senin, 20 Feb 2006 12:21 WIB
Aceh - Bisa jadi Aceh adalah salah satu propinsi pertama di Indonesia yang memiliki sistem basis data kependudukan canggih. Sistem yang dikelola oleh Kantor Pusat Data Elektronik (KPDE) Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), telah menggunakan metode identitas berdasarkan perekaman sidik jari secara elektronik.Hal tersebut disampaikan oleh Kepala KPDE NAD Sofyanis, ketika berdiskusi dengan penulis bersama dengan Anjar Ari Nugroho dan Salahuddien dari tim relawan Air Putih, Senin (20/2/2006). Untuk sementara, memang basis data tersebut baru menampung data-data masyarakat Aceh yang mengungsi lantaran tempat tinggalnya diterjang Tsunami setahun silam.Tujuan utama dari adanya basis data tersebut adalah untuk memudahkan proses identifikasi dan penyaluran jatah hidup (jadup) Rp 3000 per hari per kepala kepada para pengungsi tersebut. Sehingga diharapkan tidak terjadi duplikasi ketika bantuan disalurkan. Itupun masih saja terjadi duplikasi. Setidaknya dari sekitar 400 ribu data diri pengungsi yang tersimpan, menurut Sofyanis, 50 ribu diantaranya terjadi duplikasi.Sistem yang dibangun dari hasil hibah IBM tersebut, tergolong cukup lumayan. Misalnya untuk menemukan sebuah sidik jari apakah terjadi duplikasi atau tidak, maka waktu yang dibutuhkan untuk melakukan prosedur cek-silang tersebut hanya memakan waktu sekitar 5 hingga 10 menit saja.Pengungsi Urus Data PengungsiKetika ditemui di rumahnya, Sofyanis tampak bersahaja. Dengan menggunakan kemeja berwarna gelap, rokok tak pernah putus dari mulutnya sepanjang perbincangan selama satu jam tersebut. Sesekali dirinya memeriksa pesan yang masuk pada PDA iPaq-nya.Sofyanis sendiri sebenarnya adalah salah satu korban Tsunami yang rumahnya babak-belur diterjang Tsunami. Meskipun tak sampai hancur total, rumah milik pria yang telah bercucu ini hingga kini masih belum dapat dihuni. Terpaksalah, saat ini statusnya pun juga sebagai pengungsi, tinggal di rumah milik anaknya di pinggiran kota Aceh."Harusnya saya juga dapat jadup nih", ujarnya berkelakar. Untungnya, seluruh masih dapat selamat dari Tsunami. Pria yang sementara waktu harus menghentikan hobinya bermain piano lantaran pianonya rusak terendam air, sesekali menerawang seakan mencoba mengingat kejadian yang tak pernah dilupakannya."Saya harus membersihkan dua buah kantor yang didalamnya dipenuhi lumpur cukup tinggi," ujarnya sambil menyeruput es sirup yang baru saja dihidangkan oleh istrinya. Saat Tsunami datang, posisinya adalah sebagai Kepala Badan Informasi dan Komunikasi (Infokom) NAD. Suaranya terdengar berat, dengan intonasi rendah, menandakan usianya yang sudah tak tergolong muda lagi.Empat hari pertama pasca Tsunami, Sofyanis bahkan harus rutin menghadiri rapat koordinasi tanpa memiliki baju ganti. "Baju tersisa hanya yang melekat di badan. Jadi sore dicuci, besok paginya dipakai lagi. Kemana-mana saat itu saya hanya hanya menggunakan sandal saja. Sebab tak ada lagi yang tersisa. Jadi ngantor ya pakai sendal," ujarnya terkekeh.Beberapa hari setelah air surut, dirinya mengisahkan, bersama dengan pegawai Infokom yang tersisa, dia segera membersihkan kantor Infokom. Tak lama kemudian, hanya selang beberapa hari saja, dirinya segera dipercaya untuk menjadi Kepala KPDE, dengan lokasi kantor yang berbeda. Maka, mulailah Sofyanis bersih-bersih kantor dari awal lagi di tempat yang baru.Lemahnya Kesadaran Pentingnya DataBelajar dari pengalaman pasca Tsunami tersebut, Sofyanis pun menyadari bahwa ketersediaan data yang terkait dengan masyarakat dan aktifitasnya, sudah merupakan suatu keharusan. Bahkan pihaknya telah menawarkan diri sebagai pengelola ataupun tempat menyimpan backup data yang dimiliki oleh instansi pemerintah lainnya di NAD.Tetapi memang, hal tersebut tak mudah. Bukan urusan teknisnya, tetapi justru kesadaran bahwa pengelolaan sebuah basis data yang baik, belum terasa memadai. Hal tersebut memang disayangkan, mengingat pada akhirnya beberapa pihak terkait yang tengah berada di NAD untuk membantu masyarakat, seakan tidak memiliki basis data yang terintegrasi dengan baik untuk dapat digunakan secara bersama-sama. Entah itu pemerintah, swasta maupun lembaga kemanusiaan dalam maupun luar negeri yang saat ini berada di NAD, seakan berlomba menyusun sendiri basis data berdasarkan keperluan mereka masing-masing. Dan yang akhirnya nanti bisa jadi menggelikan, adalah jika basis data yang telah terkumpul masing-masing tersebut tak bisa atau tak boleh dibagi dan dimanfaatkan bersama oleh yang lain.KPDE pun sebenarnya tengah terus mengajak aparat dari instansi lain untuk mengikuti pelatihan-pelatihan pemanfaatan komputer dan Internet yang diselenggarakannya. Tetapi tampaknya, seperti dikeluhkan oleh Sofyanis, pengetahuan tentang teknologi informasi (TI) masih belum dianggap sebagai prioritas yang harus diutamakan.Penyebaran Infratruktur InternetMeskipun demikian, Sofyanis tetap optimis bahwa akan tiba masanya ketika kesiapan dan ketersediaan basis data dan data kependudukan menjadi pertimbangan utama ketika berbicara tentang program peningkatan kesejahteraan masyarakat di tiap daerah.Sembari menunggu masa tersebut tiba, maka Sofyanis bertekad mendukung segala upaya yang akan menuju ke arah itu. Ketika tim relawan Air Putih diminta oleh Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh untuk melakukan survei dan pemasang Internet menggunakan VSAT di 22 kota kabupaten Aceh dan 2 kota di Nias, maka pihaknya tak segan-segan untuk mendukungnya.Salah satu bentuk dukungannya adalah dengan memberikan surat rekomendasi dari dirinya selaku Kepala KPDE, untuk dibawa oleh masing-masing tim Air Putih yang hari ini mulai berpencar menuju ke tujuan masing-masing. Bahkan Sofyanis menegaskan, dirinya akan siap bantu dengan langsung menghubungi rekan sejawatnya di seluruh kabupaten Aceh, jika tim Air Putih mengalami hambatan yang sifatnya terlalu birokratis.Saat tulisan ini diturunkan, posko Air Putih nyaris kosong, ditinggal oleh para relawannya yang telah menyebar ke tujuan masing-masing. Beberapa diantaranya ada yang menggunakan mobil sewaan, motor ataupun dengan helikopter untuk mencapai tempat-tempat yang sulit dijangkau melalui jalan darat.Dan tak seperti biasanya, kali ini seluruh tim Air Putih yang bertugas melakukan survei tersebut, berpakaian rapi dan necis. "Terpaksa nih, soalnya harus ketemu dengan orang pemerintah. Apalagi kita datang tanpa ada janjian sebelumnya," demikian disampaikan oleh salah satu relawan dengan muka tersipu malu, sesaat sebelum penulis meninggalkan posko untuk bertemu dengan Sofyanis.Mengikuti perkembangan TI di Aceh memang memiliki daya tarik tersendiri. Di sinilah jugalah mungkin, satu-satunya daerah di Indonesia yang harus mulai membangun seluruh sarana dan prasarana TI dari awal, bahu-membahu antara pihak pemerintah, swasta maupun organisasi nirlaba kemanusiaan. Mudah-mudahan semangat kebersamaan mereka, tak segera pupus didera waktu dan godaan kepentingan segelintir pihak. (dbu)Berita terkait:- Catatan dari Aceh: Tidur di NOC, Ngopi di Starblack- Catatan dari Aceh: Duet Tabina - Air Putih Mulai BerbuahFoto essay:- Kota Banda Aceh, 1 Tahun Setelah Prahara Tsunami (33 foto tempat monumental Tsunami, profil keindahan alam dan geliat masyarakat kota)(Tulisan ini adalah satu dari beberapa catatan penulis selama beberapa hari Aceh, atas undangan tim relawan Air Putih.) (wsh/)

Berita Terkait