WhatsApp Diminta India Simpan Data di Dalam Negeri
Hide Ads

WhatsApp Diminta India Simpan Data di Dalam Negeri

Rachmatunnisa - detikInet
Sabtu, 30 Nov 2019 17:14 WIB
Foto: Dok. REUTERS/Thomas White/File Photo
Jakarta - Isu spyware Pegasus yang menyusup lewat fitur video call dan panggilan telepon WhatsApp, menjadi alasan para pembuat kebijakan di India memaksa layanan chat milik Facebook tersebut menyimpan data pengguna India secara lokal.

Sejumlah ahli teknologi, seperti dikutip dari BBC, mengonfirmasi bahwa beberapa departemen dan badan pemerintahan India telah mengajukan permintaan akan keharusan WhatsApp menyimpan data di dalam negeri.



SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Ini adalah isu keamanan nasional yang serius, membutuhkan pengukuran, termasuk lokalisasi data," kata juru bicara salah satu badan pemerintahan India.

Sementara itu, sebagian pengamat teknologi lainnya menilai permintaan India sangat aneh dan tidak masuk akal.

"Ini sangat aneh dan tidak masuk akal. Lokasi data tidak ada hubungannya dengan pelanggaran spyware Pegasus," kata ahli teknologi Prasanto K Roy.

Dikatakannya, WhatsApp sangat transparan mengenai adanya kerentanan yang bisa ditembus Pegasus dan sudah melaporkannya ke pejabat berwenang. Yang penting saat ini menurutnya adalah mencari tahu siapa yang berupaya melakukan peretasan via Pegasus dan bagaimana cara kerjanya.

"Lokalisasi data benar-benar bertentangan dengan keseluruhan konsep internet yang merupakan jaringan global," tambahnya.

Laporan lain yang mengutip pernyataan pejabat pemerintah menyebutkan, mereka menginginkan data pengguna disimpan secara lokal karena spyware Pegasus membahayakan keamanan nasional.

Sedikit kilas balik terkait dengan Pegasus, WhatsApp bulan lalu telah menguggat perusahaan Israel, bernama NSO Group, yang dituding membantu pembobolan kepada 1.400 pengguna di empat benua. NSO Group ialah perusahaan yang membuat spyware WhatsApp.

Spyware ini memanfaatkan celah keamanan pada fitur video call dan panggilan WhatsApp. Ketika masuk ke ponsel korban, Pegasus bisa mengambil semua data seluler berupa foto, email, nomor kontak, lokasi, arsip, data history browsing, rekaman audio dan kamera.



Targetnya adalah data penting di ponsel korban. Setidaknya ada 100 orang yang menjadi korban. Mereka kebanyakan adalah para aktivis politik dan HAM, wartawan dan pejabat pemerintahan.


(rns/rns)