PPN dan PPh vs Bandwidth Internet
Hide Ads

Kolom Telematika (3 dari 3 Tulisan)

PPN dan PPh vs Bandwidth Internet

- detikInet
Rabu, 26 Okt 2005 13:50 WIB
Jakarta - Pengantar Redaksi.Dalam RUU Perpajakan yang akan segera disahkan, bandwidth merupakan salah satu komponen yang akan dikenakan pajak berlapis. Banyak pihak yang kuatir jika RUU tersebut jadi disahkan, maka bandwidth sebagai komponen utama layanan Internet akan terkena pemajakan yang cukup signifikan. Maka konsumen akhir, semisal warnet, sekolah maupun pengguna perseorangan akan terkena dampaknya berupa semakin mahalnya biaya akses Internet yang harus dibayarkan.Untuk itu detikinet meminta secara khusus kepada Bendahara Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia (APJII), Sylvia W. Sumarlin, untuk memberikan tanggapannya secara tertulis atas RUU Perpajakan yang baru. Tulisan tersebut terdiri atas 3 (tiga) seri, dan akan diturunkan secara bertahap setiap hari.Redaksi detikinetTulisan 3 dari 3 Seri"PPN dan PPh vs Bandwidth Internet"c. RUU PPh yang mengatur pemotongan dan pengenaan PPh pasal 23, ayat (1) butir a. 4 dan c.2 sebesar 15%.Tanggapan PJI:Hal ini masih berhubungan dengan 'nature of business' yang dijalankan oleh para Penyelenggara Jasa Internet (PJI) dan yang telah disinggung pada butir a di atas. Mengingat pemanfaatan bandwidth adalah suatu kebutuhan produksi untuk menghasilkan koneksi internet, maka penjualan internet lebih tepat dikatakan sebagai suatu usaha yang berorientasi 'business profits/income -- active income', maka seharusnya pengenaan PPh 23 yang dipotong oleh pelanggan setiap bulan menjadi tidak berlaku lagi. Konsep Witholding Tax yang benar hanyalah dikenakan kepada PPh pasal 21 atau passive income, sehingga tidak mengganggu cash flow dari perusahaan.Namun bila sesuatu hal PPh pasal 23 dipaksakan dengan adanya pemotongan sebesar 15 persen, maka dari mana PJI mendapat cukup margin untuk membayar biaya operasionalnya. Ironisnya, dalam praktek yang sekarang sedang berlaku, banyak sekali pelanggan internet yang memotong Pph 23 sebesar 6 persen terhadap invoice yang rata-rata nilainya hanya sekitar Rp 100.000.Potongan tersebut ternyata tidak dilaporkan dan diberikan bukti setornya kepada PJI. Akibatnya sekarang, pada saat diperiksa oleh fiskus, PJI tersebut harus menanggung PPh dan dendanya.Sebagai ilustrasi: PJI mempunyai pelanggan korporat (yang ber NPWP) sebanyak 20.000 dari total 50.000 pelanggannya. Nilai invoice yang ditagihkan kepada korporat sebesar Rp 100.000. Setiap bulan para korporat memotong langsung PPH sebesar 6 persen, yakni hanya Rp 6.000 tetapi tidak disetor ke Kas Negara maupun dilaporkan. Dalam hal ini PJI terpaksa harus menggantikannya dengan membayar 10.000 pelanggan (jika 50 persen tidak setor dari 20.000 pelanggan) masing-masing Rp 6.000 menjadi Rp 60 juta. Kenyataan yang terjadi hampir 80 persen pelanggan dengan invoice Rp 100.000 atau kurang tidak menyetor. Kekhawatiran APJII terhadap RUU yang baru dengan menaikkan menjadi 15 persen adalah fatalnya kerugian menjadi tak terhindari yang langsung menyebabkan kebangkrutan usaha.d. RUU PPN pasal 3A ayat 3 tentang badan yang memanfaatkam Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari Luar Daerah Pabean mempunyai kewajiban memungut, menyetor dan melaporkan PPN yang terutang.Tanggapan PJI:Argumentasinya masih sama persis seperti yang dihadapi sekarang ini dan yang telah dijelaskan pada butir d dan e halaman 1 paper ini tentang belum adanya suatu hukum yang mengatur tata ruang angkasa. e. RUU PPN pasal 4A ayat 3 yang mengatur Jenis Jasa tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai adalah jasa tertentu dalam kelompok-kelompok jasa.Tanggapan PJI:Mengingat bahwa PJI menyediakan akses internet untuk masyarakat luas dan usaha ini mendukung dunia pendidikan dalam mencerdaskan bangsa, maka APJII mengusulkan bahwa jasa internet adalah salah satu Jasa Tidak Dikenakan Pajak Pertambahan Nilai. Betapa memprihatinkan bahwa pengguna internet di Indonesia masih sangat rendah. Padahal proses belajar banyak didapat melalui internet. APJII sendiri turut aktif dalam program mencerdaskan bangsa denga proyeknya SMU 2000. Pada saat bencana Tsunami melanda Aceh, maka kebutuhan komunikasi di daerah-daerah yg sulit dicapai dilakukan melalui internet. Dalam hal ini para PJI yang tergabung dalam APJII segera membentuk suatu Task Force di Aceh dengan mengirimkan kebutuhan telekomunikasi beserta sumber daya manusianya dalam memulihkan komunikasi.DampakPeranan internet dalam mencerdaskan bangsa bukan suatu harapan saja, melainkan sudah merupakan suatu realita.Setelah membahas beberapa pokok-pokok permasalahan di atas, maka dampak yang paling pasti terjadi dengan adanya RUU yang baru:a. Usaha internet menjadi sangat mahal. Padahal di luar negeri akses internet adalah sangat-sangat murah.b. Para PJI tidak lagi bisa berusaha, kecuali mereka-mereka yang mendapat hak-hak istimewa seperti Telkom dan Indosat (penguasa jaringan).c. Ketakutan terhadap ketidakpastian hukum dan perpajakan, hanya mendorong para PJI memilih untuk menutup usaha. Para PJI sangat takut akan denda 200 persen plus hukuman badan.d. Investasi dari pihak Luar Negeri juga tidak dapat diharapkan.e. Pelayanan masyarakat menjadi terganggu dan nyaris juga menjadi mahalf. Pendidikan juga menjadi sulit dan tidak dapat meratag. Pada akhrinya, Pemerintah terpaksa melakukan usaha internetnya sendiri.SkenarioMungkin ada baiknya dibayangkan suatu skenario di mana seorang PJI melakukan usahanya di bawah pemberlakuan RUU yang baru:PJI membeli bandwidth dari luar negeri. PJI otomatis terkena PPh ps 26 royalti sebesar 15 persen dan PPn 10 persen. Pada saat PJI melakukan kegiatan penjualan internet dan penempatan portal (hosting), maka terkena lagi pemotongan PPh 23 sebesar 15 persen terhadap invoice pemakaian internet(di mana PJI hampir tidak pernah menerima bukti setor dari pelanggaan karena nilai yg terlalu kecil -- namun volume besar) plus PPh 23 sebear 15 persen terhadap hosting. Di atas itu semua PJI harus siap-siap membayar 1 persen BHP dari pendapatan kotor ke Departemen Komunikasi dan Informatika untuk jasa internet, dan 1 persen BHP frekuensi. Total 2 persen BHP dari pendapatan kotor sudah sama dengan pemotongan laba bersih sebesar 20 persen lebih. Padahal, dalam praktik usaha sebagai PJI, laba bersih belum tentu bisa dicapai. Tidaklah heran bila pada kenyataannya banyak sekali lisensi PJI yang tidak beroperasi. Belum juga jalan, sudah terkena berbagai macam pungutan resmi.Mengingat bahwa pihak Ditjen Pajak tidak menanggapi masalah dan memberikan suatu solusi yang tidak meresahkan para PJI, maka Asosiasi PJI Indonesia (APJII) bersama-sama dengan asosiasi telematika yang tergabung di Masyarakat Telematika (Mastel) membuat suatu proposal kepada DPR dan Pemerintah. Harapan APJII adalah didukungnya oleh Pemerintah usaha internet yang di masa mendatang menjadi suatu tulang punggung informasi.Keterangan: Penulis adalah Bendahara Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia (APJII) dan CEO PT Dyviacom Intrabumi Tbk. (D-Net). (dbu/)

Berita Terkait