Bulan November 2015 menjadi ulang tahun ke-2 untuk kelahiran kamera Nikon Df. Dan selama itu pula, Nikon Df selalu menjadi kejutan bagi pengguna maupun orang-orang di sekitarnya. Dari New York, San Francisco, Osaka, hingga Museum Kota Tua Jakarta.
"Apakah Anda profesional? Kameranya sangat keren," kata seorang pria muda di persimpangan Haight-Asbhury, San Francisco beberapa waktu lalu. Pria tersebut menegur usai berpapasan dan berbalik langkah sekedar memastikan reinkarnasi Nikon FM2 yang dipegang penulis.
Sehari kemudian, anak kecil langsung berteriak kencang melihat Nikon Df terkalung di leher. "Wooww, amazinggg...," ucapnya spontan dan tanpa komando menunjuk Nikon Df di Flea Market Treasure Island, California. Dia seperti menemukan kejutan yang sangat khas lantaran ia lahir di abad digital.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kejadian serupa dialami saat melakukan business trip ke New York. Beberapa kali warga kota atau turis 'tertipu' dengan penampilan Nikon Df yang orisinil dan legendaris. Sebagian masih mengira kamera ini menggunakan roll film. "Pasti mahal ya," ucap pria penjual pretzel berwajah Timur Tengah di 6th Avenue, NY.
Tampaknya, kejutan demi kejutan bakal selalu hadir dari Nikon Df, meski sampai sekarang belum di-upgrade dalam seri yang lebih baru. Bagi pengguna Nikon Df, keunggulan desain dan faktor legenda menjadi cara tersendiri untuk mendapatkan soul dan pengalaman berbeda saat memotret. Pegangan dan fitur manualnya dibuat seperti aslinya, kecuali tungkai untuk mengokang film yang dihilangkan.
Selain desain retro yang monumental, kesempurnaan mesin dan daya tahan bodi memang tidak bisa diragukan. Bodi alumunium alloy yang ringan namun kuat mampu melindungi kamera meski sudah jauh dari tripod ke lantai keramik sebanyak 2 kali seperti yang penulis alami.
Kemampuan Nikon Df mengakomodir lensa lawas -- lensa yang dilahirkan sejak era film -- menjadi kelebihan tersendiri. Maklum, lensa analog tersebut dikenal sangat presisi dan akurat membaca adegan. Kalaupun tidak, masih ada lensa kit 50mm f/1,8 yang mampu mengakomodir kebutuhan fotografi secara nyata, fokus pada cerita dan tidak didistorsi oleh kebutuhan gambar yang tak perlu.
Selebihnya, performa mesin yang setara dengan Nikon D4 tidak bisa diragukan. Kemampuan ISO yang dulu dipredikisi tidak mampu bertahan pada ISO tinggi, tidak sepenuhnya benar. Seperti terlihat dalam foto Grand Central Station, ISO 4.000 masih bisa menunjukan suasana dan tekstur yang menarik.
Hal itu lantaran Nikon Df yang ditopang oleh kemampuan sensor mampu merekam setiap detil dan gradasi warna dengan responsif dan cepat. Saking cepatnya prosesor, kartu memori berkemampuan 30 mbps masih belum kuat menyampaikan data yang direkam pada file RAW dan mode pemotretan continues shoot.
Tak salah jika Nikon menghilangkan menu video pada kamera ini kendati harganya terbilang mahal, masih pada kisaran Rp 30 jutaan. Tidak lain untuk menemukan sensasi memotret dan keasikan berpusi lewat gambar. Persis seperti tagline Nikon Df yang digembar-gemborkan sejak dua tahun lalu: Pure Photography.
Berikut hasil jepretannya:
Grand Central Station, New York yang temaram masih bisa diatasi oleh Nikon Df pada ISO 4.000, f/10 dan speed 1/15. (Foto: Ari Saputra/detikINET)
Pantomim di pelataran Museum Fatahillah dijepret Nikon Df pada ISO 100, f/2,0 dan speed 1/800. (Foto: Ari Saputra/detikINET)
Kemampuan Nikon Df dengan lensa kit 50mm f/1,8 mampu mencengkeram subjek kecil dengan presisi seperti terlihat di foto bunglon ini. ISO 400, f/8 dan speed 1/500. (Foto: Ari Saputra/detikINET)
Lensa kit Nikon Df 50mm f/1,8 paling jago untuk memotret portrait seperti dicoba di Mission District, San Francisco. ISO 1000, f/1,8 dan speed 1/125. (Foto: Ari Saputra/detikINET)
(Ari/rou)