Apple Developer Academy di Indonesia terus berevolusi. Program yang kerap dianggap sebagai "sekolah coding" ini nyatanya punya pendekatan jauh lebih luas dan mendalam, terutama dalam mencetak talenta kecerdasan buatan (AI) yang siap menghadapi tantangan dunia nyata.
Melalui metode challenge-based learning dan integrasi AI, Apple menyiapkan generasi pengembang yang tidak hanya jago teknis, tetapi juga mampu menciptakan solusi berdampak bagi masyarakat.
Hal ini disampaikan langsung oleh Lisa Jackson, Vice President Environment, Policy, and Social Initiatives Apple, saat berbincang usai wisuda Apple Developer Academy Cohort 2025 di Bali belum lama ini. Menurutnya, filosofi pendidikan di Apple sejak awal memang tidak pernah berfokus pada hafalan kode atau ceramah panjang di kelas.
"Ini bukan tentang duduk mendengarkan dosen selama berjam-jam. Sejak hari pertama, peserta langsung dihadapkan pada tantangan nyata dan diminta mencari solusinya," ujar Lisa Jackson.
Challenge-Based Learning Fondasi Utama
Pendekatan challenge-based learning menjadi ciri khas Apple Developer Academy. Peserta tidak diberi daftar materi kaku, melainkan masalah nyata yang harus dipecahkan secara kolaboratif. Mereka bebas mencari referensi, berdiskusi dalam tim lintas latar belakang, dan menguji berbagai ide sebelum menemukan solusi terbaik.
Metode ini mendorong peserta berpikir kritis, kreatif, dan adaptif-kemampuan yang krusial di era AI. Apple meyakini bahwa teknologi akan terus berubah, tetapi cara berpikir dan memecahkan masalah adalah bekal jangka panjang.
"AI bisa membantu menulis kode lebih cepat, tapi yang membedakan adalah bagaimana peserta merancang solusi yang benar-benar relevan dan berdampak," kata Lisa.
AI Jadi Alat, Bukan Tujuan
Di Apple Developer Academy, AI tidak diposisikan sebagai tujuan akhir, melainkan alat untuk memperdalam proses belajar. Peserta memanfaatkan teknologi AI untuk mempercepat pengembangan aplikasi, melakukan analisis data, hingga menguji berbagai skenario penggunaan.
Namun, Apple menekankan pentingnya pendekatan human-centered. Setiap aplikasi harus berangkat dari kebutuhan manusia, bukan sekadar demonstrasi kecanggihan teknologi. Karena itu, kurikulum Academy juga mencakup desain, riset pengguna, pemasaran, hingga kewirausahaan.
"Sekarang banyak hal teknis yang bisa dibantu AI. Itu membuat pembelajaran justru masuk lebih dalam, bukan dangkal. Yang membedakan solusi hebat bukan seberapa cepat dibuat, tapi seberapa relevan dan bermakna bagi pengguna," jelas Lisa.
Hasilnya terlihat dari berbagai aplikasi yang lahir dari program ini. Beberapa di antaranya adalah SeaLens, aplikasi konservasi laut berbasis machine learning; HerLens, solusi deteksi dini kanker serviks; serta PetaNetra, aplikasi navigasi berbasis augmented reality untuk tunanetra yang pernah meraih penghargaan internasional.
Sejak pertama hadir di Indonesia pada 2018, Apple Developer Academy telah meluluskan lebih dari 5.000 alumni. Menariknya, sekitar 90% lulusan langsung terserap ke dunia kerja, baik di startup, perusahaan teknologi besar, maupun membangun usaha rintisan sendiri.
Keberagaman juga menjadi kekuatan utama program ini. Pada Cohort 2025, peserta berasal dari 69 kota di Indonesia, dengan rentang usia 18 hingga 56 tahun dan komposisi perempuan mencapai 43%. Kampus Bali bahkan menjadi yang pertama menerima peserta internasional, dengan mahasiswa dari 12 negara.
"Keragaman perspektif membuat solusi yang dihasilkan jauh lebih kaya," ujar Lisa.
Ekspansi Besar Menuju 2026
Komitmen Apple terhadap pengembangan talenta digital di Indonesia akan semakin diperkuat pada 2026. Saat ini, Apple Developer Academy telah hadir di Tangerang, Surabaya, Batam, Bali, dan akan membuka kampus kelima di Jakarta Pusat (Thamrin).
Tak hanya itu, Apple juga menyiapkan sejumlah Developer Institute khusus, termasuk fokus pada AI, game development, dan development operations. Dengan total 9 lokasi Academy dan Institute, kapasitas pendidikan diproyeksikan mampu menjangkau hampir 1.000 pelajar per tahun.
Langkah ini dinilai selaras dengan visi transformasi ekonomi digital Indonesia, sekaligus memperkuat posisi Tanah Air sebagai sumber talenta teknologi berkelas global.
"Skill yang mereka dapatkan tidak hanya untuk menjadi developer. Mereka belajar bagaimana menggunakan teknologi untuk menjadi guru yang lebih baik, tenaga kesehatan yang lebih baik, atau kreator yang lebih berdampak," kata Lisa.
Bagi Apple, investasi di bidang pendidikan bukan sekadar program tanggung jawab sosial, melainkan bagian dari strategi jangka panjang membangun ekosistem inovasi. Lisa Jackson optimistis dampaknya akan terasa luas, mulai dari industri teknologi, layanan publik, hingga ekonomi nasional.
"Saya tidak berharap, saya tahu dampaknya akan positif. Indonesia punya talenta luar biasa, dan masa depannya sangat cerah," tutupnya.
Simak Video "Apple Developer Academy di Bali Bakal Tempati Aset Kemenperin"
(afr/afr)