Seni, Musik, dan Budaya di Persimpangan AI: Peluang Besar atau Ancaman?
Hide Ads

Seni, Musik, dan Budaya di Persimpangan AI: Peluang Besar atau Ancaman?

Adi Fida Rahman - detikInet
Senin, 17 Nov 2025 06:13 WIB
Ilustrasi membuat lagu pakai AI.
Seni, Musik, dan Budaya di Persimpangan AI: Peluang Besar atau Ancaman? Foto: Gemini AI
Jakarta -

Pekan kedua AiDEA Weeks 2025 (AiW), forum publik bertema "Embracing The New Age of AI", kembali menggarap isu yang makin relevan di era digital: bagaimana kecerdasan buatan (AI) memengaruhi seni visual, musik, dan pelestarian budaya. Bila pekan pertama menyoroti masa depan pekerjaan dan produktivitas, kali ini fokusnya bergeser ke identitas kreatif dan nilai budaya manusia di tengah ledakan teknologi generatif.

Diskusi yang melibatkan akademisi, seniman, musisi, hingga praktisi budaya ini menyoroti pertanyaan besar yang mengemuka global: apakah AI memperluas ruang kreativitas, atau justru menggerus orisinalitas dan makna budaya?

AI di Dunia Seni

Sesi Artificial Intelligence, Between Arts & Crafts membuka pembahasan dengan menyoroti bagaimana AI mampu menghasilkan karya visual dalam sekejap. Dari generative art hingga imitasi gaya artistik seperti fenomena "Ghiblification", teknologi ini menawarkan efisiensi tinggi. Namun, kekhawatiran tentang hilangnya orisinalitas dan eksploitasi karya manusia tanpa izin semakin menguat.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Survei DACS (2024) terhadap 1.000 seniman menunjukkan tiga keresahan utama: turunnya nilai karya, pelanggaran hak cipta, dan hilangnya eksklusivitas estetika. Studi Lovato et al. (2024) juga menekankan tuntutan terhadap transparansi data pelatihan AI, terutama ketika karya seniman dipakai sebagai dataset tanpa kompensasi yang layak.

AiDEA Weeks 2025Sesi Sesi pertama Artificial Intelligence, Between Arts & Crafts Foto: AiDEA Weeks 2025

Kantor Hak Cipta AS (2025) menegaskan bahwa karya murni buatan AI tanpa sentuhan kreativitas manusia tidak bisa dilindungi hak cipta. Kondisi ini membuat batas legal dan etika semakin kompleks.

ADVERTISEMENT

Visual Artist Rato Tangela menyebut AI sebagai creative partner, bukan pengganti. "AI bisa memberi feedback objektif dan membantu memperbaiki konsep. Tapi esensi karya tetap harus datang dari manusia," ujarnya.

Semnetara Photographer dan AI Creator Eddy Sukmana menambahkan bahwa ketika AI mengambil peran lebih besar, justru karya konvensional akan semakin tinggi nilainya.

Pelestarian Budaya

Di sesi AI for Better Cultural & Traditional Awareness, diskusi berfokus pada bagaimana AI dapat membantu mengarsipkan manuskrip kuno, menerjemahkan teks tradisional, hingga menghadirkan simulasi budaya interaktif bagi generasi muda.

Meski potensinya besar, resistensi tetap kuat. Survei UNESCO (2023) menyoroti kekhawatiran tentang hilangnya konteks budaya, homogenisasi nilai, serta pertanyaan mengenai siapa pemilik representasi digital suatu tradisi.

AiDEA Weeks 2025Sesi AI for Better Cultural & Traditional Awareness Foto: AiDEA Weeks 2025

Di Indonesia, tantangannya lebih rumit karena nilai budaya sering berkaitan dengan spiritualitas, sejarah, dan local wisdom. Teknologi yang terlalu generik dikhawatirkan mereduksi makna otentik.

Founder AI Nusantara, Gustav Anandhita, memandang AI sebagai medium baru yang dapat "menghidupkan kembali" tokoh-tokoh masa lalu. "Cerita mereka bisa muncul kembali, pengetahuan mereka bisa diterjemahkan ulang. AI membuka kolaborasi lintas generasi," ujarnya.

Musik dan AI

Sesi puncak bertajuk Music Meets Machine: AI in the Music Industry menunjukkan bagaimana AI telah menjadi kekuatan besar di industri musik, dari menghasilkan melodi hingga meniru suara artis.

Laporan SACEM dan GEMA mencatat 71% musisi khawatir pendapatannya akan tergeser oleh karya berbasis AI. Lebih dari 200 musisi global, seperti Billie Eilish, Dua Lipa, hingga Stevie Wonder, menandatangani surat penolakan terhadap "predatory AI".

Namun, di sisi lain, AI juga membuka peluang. Survei Ditto Music (2023) menyebut hampir 60% musisi independen sudah memakai AI untuk mixing, mastering, hingga menulis lirik. Ini menurunkan hambatan produksi dan mempercepat eksplorasi kreatif.

AiDEA Weeks 2025Sesi Music Meets Machine: AI in the Music Industry Foto: AiDEA Weeks 2025

Di Indonesia, platform seperti Trebel Music mulai mengadopsi fitur AI untuk membantu pembuatan playlist dan eksplorasi lirik. Pemerintah lewat Kominfo juga sedang merancang peta jalan regulasi AI, termasuk mitigasi risiko deepfake suara.

Music Manager Noor Kamil menilai AI sebagai alat pendukung. "Untuk proses kreatif awal, terutama demo, AI sangat membantu. Tapi rasa, pengalaman, dan critical thinking tetap harus dari artisnya," ujarnya.

Hip Hop Artist Tuan Tigabelas menegaskan bahwa teknologi tak bisa menggantikan intuisi seni yang lahir dari pengalaman hidup.




(afr/rns)
Berita Terkait