Elon Musk dinilai melakukan provokasi di media sosial miliknya, X, terkait kerusuhan yang terjadi di Inggris. Perang kata-kata pun terjadi antara Musk dan Perdana Menteri Inggris, Sir Keir Starmer, setelah orang terkaya di dunia itu mengklaim Inggris sedang menuju perang saudara.
Dalam komentar di X, di bawah video perusuh yang menyalakan kembang api ke polisi, Musk mengatakan "perang saudara tidak dapat dihindari".
Pernyataan itu langsung dibantah juru bicara PM Inggris, yang mengatakan tidak ada pembenaran untuk komentar seperti itu dan siapa pun yang mengobarkan kekerasan secara online akan menghadapi hukuman. Ia menambahkan kekerasan itu berasal dari sekelompok kecil orang yang tak mewakili Inggris.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Musk kemudian juga membalas unggahan media sosial dari Sir Keir yang mengkritik kekerasan terhadap Muslim. Masjid dan hotel yang menampung pencari suaka memang menjadi salah satu sasaran demonstrasi sayap kanan.
Sir Keir mengatakan kerusuhan itu bukan protes melainkan murni kekerasan seraya menambahkan pihaknya tidak akan menoleransi para perusuh. "Kami tidak akan menoleransi serangan terhadap masjid atau komunitas Muslim," cetusnya.
Pernyataan itu yang dikomentari Musk. "Bukankah Anda seharusnya khawatir tentang serangan terhadap *semua* komunitas?" tulisnya, dikutip detikINET dari Sky News.
Perselisihan tersebut berisiko mengancam upaya pemerintah Inggris untuk meminta perusahaan medsos mengambil lebih banyak tanggung jawab dalam menghapus konten berbahaya dan bisa memicu kekerasan.
Menteri Teknologi Peter Kyle sudah bertemu dengan para bos Tiktok, Meta, Google, dan X guna menghentikan penyebaran misinformasi dan hasutan yang mengandung kebencian.
"Ada sejumlah besar konten beredar yang harus segera ditangani oleh platform. Berbagai perusahaan mengambil pendekatan berbeda dan saya harap platform memastikan mereka yang ingin menyebarkan kebencian secara daring tidak difasilitasi dan tidak punya tempat untuk bersembunyi," cetusnya.
Sir Keir sebelumnya memimpin komite darurat COBRA terkait kerusuhan, di mana ia mengatakan siapa pun yang memicu kekerasan secara online akan menghadapi hukuman berat. Lebih dari 400 orang telah ditangkap sejak kerusuhan dimulai Selasa lalu.
"Jika Anda menghasut kekerasan, tidak masalah apakah itu daring atau luring. Dan karena itu saya berharap, seperti halnya mereka yang secara langsung berpartisipasi di jalan, agar ada penangkapan, dakwaan, dan penuntutan. Siapa pun yang terbukti melakukan tindak pidana online dapat menghadapi tanggapan yang sama," ujarnya.
Latar belakang kerusuhan
Penusukan yang menewaskan tiga bocah perempuan berkembang jadi kerusuhan di Inggris. Masjid diserang, sentimen anti-muslim terpicu. Sebenarnya siapa pelaku penusukan itu? Peristiwa penusukan terjadi di Southport, kawasan barat laut Inggris, 29 Juli 2024 lalu.
Tiga anak perempuan usia 6,7, dan 9 tahun tewas ditusuk di tempat menari bertemakan Taylor Swift dan sesi yoga untuk anak. Delapan anak dan dua orang dewasa turut cedera.
Peristiwa itu memantik sentiman Islamofobia. Kerusuhan kemudian menyeruak di beberapa wilayah di Inggris. Dilaporkan Aljazeera, kerusuhan ini muncul karena ada misinformasi yang menyebar cepat di kalangan masyarakat Inggris. Misinformasi itu kemudian mengasapi sentimen anti-imigran dan anti-muslim.
Pada awal peristiwa, hanya sedikit informasi detail mengenai peristiwa penusukan maut di Southport. Informasi hanya sebatas kabar bahwa pelaku adalah anak 17 tahun.
Ketiadaan informasi itu kemudian memantik spekulasi. Publik lokal menduga bahwa pelaku penusukan adalah imigran muslim. Kebencian menyebar terhadap muslim. Tersebut lah nama yang diviralkan sebagai nama pelaku, yakni Ali Al Shakati. Ternyata itu cuma hoax.
Pelaku sebenarnya adalah Axel Rudakubana, usia 17 tahun, terlahir dari orang tua asal Rwanda di Cardiff, Wales. Axel Rudakubana bukan seorang muslim.
(fyk/fyk)