Perkembangan teknologi di Indonesia terus meningkat. Hal ini dapat dilihat dari menjamurnya pengguna smartphone dan aktivitas digital saat ini.
Berdasarkan hasil survei dari Statista, Indonesia menjadi salah satu pasar yang paling diminati oleh e-commerce dengan kurang lebih 20 juta orang yang mengakses platform e-commerce untuk berbelanja online pada tahun 2017. Angka tersebut diprediksi akan semakin meningkat menjadi 65 juta pengguna pada tahun 2022.
Sayangnya, kemajuan teknologi dan juga aktivitas online saat ini dimanfaatkan beberapa oknum untuk melancarkan kejahatan siber. Dikutip dari situs Integrity Indonesia, Direktorat Cybercrime dari Bareskrim Polri menyatakan kerugian konsumen akibat penipuan e-commerce pada akhir tahun 2017 mencapai Rp 2,2 miliar.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tentu hal ini harus menjadi perhatian masyarakat. Agar lebih aman dalam bertransaksi online, berikut ini adalah 5 modus penipuan yang kerap terjadi dan menyerang pengguna online yang dilansir dari beberapa sumber.
Phishing
Phishing merupakan kejahatan siber yang kerap ditemui oleh masyarakat Indonesia. Kejahatan ini dilakukan oleh oknum dengan menghubungi calon mangsanya melalui email, telepon, atau pesan teks dengan mengaku dari lembaga sah.
Biasanya oknum-oknum yang melakukan phishing akan menanyakan beberapa data sensitif seperti identitas pribadi, detail perbankan, kartu kredit, dan juga kata sandi. Bagi siapapun yang jatuh ke lubang kejahatan ini, informasi yang pelaku dapatkan akan digunakan untuk mengakses akun penting yang mengakibatkan pencurian identitas hingga kerugian finansial.
Selain melalui email dan situs web, phishing juga bisa dilakukan melalui suara (vishing), SMS (smishing) dan juga beberapa teknik lainnya yang terus-menerus akan diperbarui oleh para penjahat dunia maya.
Pharming
Kejahatan siber ini bisa dikatakan lebih berbahaya dibandingkan phishing. Saat phishing mengarahkan calon korbannya untuk memberikan data, pharming akan mengarahkan mangsanya ke sebuah situs web palsu sebelum para mereka menyadarinya.
Caranya pun bisa dikatakan sangat rumit. Ketika calon korbannya masuk ke dalam website tersebut, secara tak langsung entri DNS yang diklik oleh pengguna akan tersimpan di komputer dalam bentuk cache. Dengan cara ini, sebuah perangkat akan dengan mudah diakses oleh pelaku.
Social Engineering
Kejahatan siber yang satu ini sebenarnya mirip-mirip dengan phishing. Namun, social engineering atau rekayasa sosial akan terlebih dulu memulai suatu obrolan dengan hal-hal umum yang kemudian akan membuat korbannya secara tak sadar memberikan informasi penting.
Dengan menggunakan hubungan sosial, bukan tidak mungkin seorang hacker yang melakukan social engineering dapat dengan mudah mendapatkan informasi yang ia inginkan. Ketidaksadaran seorang korban disebut menjadi kunci dari pelaku untuk mengorek informasi dari mangsanya.
Sniffing
Sniffing merupakan kejahatan siber yang rumit berikutnya dan biasanya mengincar data-data pada komputer korbannya. Hampir mirip dengan penyadapan kabel ke jaringan telepon, seorang sniffer akan meretas untuk mengumpulkan informasi secara ilegal lewat jaringan yang ada pada perangkat korbannya.
Biasanya seorang sniffer akan menangkap data melalui jaringan perangkat ketika seseorang mempunyai aplikasi bodong. Aplikasi-aplikasi bodong tersebut akan meminta data-data yang diperlukan dan secara tak langsung telah memberikan info penting si korban kepada pelaku.
Money Mule
Selama pandemi, kejahatan siber ini diprediksi bisa meningkat selama masa pandemi kali ini. Ini dikarenakan saat ini banyak orang yang sedang membutuhkan uang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kesempatan inilah yang dimanfaatkan para penjahat money mule untuk melancarkan serangannya.
Dalam prakteknya, oknum money mule akan meminta korbannya untuk menerima sejumlah uang ke rekening untuk nantinya ditransfer ke rekening orang lain. Bahkan, oknum pelaku juga mempersilahkan korbannya untuk menyimpan sebagian uang. Memang menarik, tapi sekalinya siapapun jatuh ke jebakan ini, mereka sudah terlibat dalam pencucian uang yang merupakan bentuk kejahatan.
Oleh karena itu, ada baiknya hindari memberikan data dan informasi pribadi ke pihak lain dengan memanfaatkan fitur-fitur keamanan seperti nomor OTP atau PIN transaksi online.
"Keamanan transaksi perbankan digital merupakan komitmen dari kami selaku penyedia layanan tersebut dimana kami senantiasa berinovasi dalam menambahkan fitur-fitur baru yang dapat memperkuat sistem keamanan dari layanan digital banking tersebut. Namun demikian, diperlukan kewaspadaan dari sisi pengguna layanan digital banking seiring dengan modus penipuan yang semakin beragam," kata Iskak Hendrawan, Chief Digital Officer, Bank Danamon.
"Kami menghimbau para pengguna layanan digital banking untuk tidak pernah memberikan data atau informasi terkait rekening pribadi kepada siapa pun termasuk petugas bank dan melakukan pengkinian data melalui cabang/bank," imbuhnya.
(ncm/ega)