"Setiap musim penghujan, data di Pusdalops (BPBD DIY) menunjukkan bahwa saat musim hujan pasti ada kejadian banjir dan tanah longsor. Karena konteksnya (di Kulon Progo) tanah longsor, kita cek alat EWS-nya dan saat ini kita pakai teknologi terkini," kata Manajer Pusdalops BPBD DIY, Danang Samsurizal kepada wartawan.
Hal tersebut diungkapkan Danang saat memantau kondisi EWS di Dusun Ngrancah, Desa Pendoworejo, Kecamatan Girimulyo, Kabupaten Kulon Progo, Senin (9/12/2019). Ia juga mengungkapkan alasan pemasangan EWS berbasis teknologi terkini di Kulon Progo.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kenapa kita pakai teknologi terkini (untuk EWS)? Karena pengamatan kami, EWS yang kemarin kurang handal karena kurang dirawat. Mungkin karena lokasi EWS (manual di Kulon Progo) jauh-jauh," ujarnya.
Maka dari itu, mulai tahun 2018, BPBD DIY mulai melakukan pemasangan EWS berbasis teknologi di tiga dusun, di antaranya Dusun Tambalan (Desa Srimartani) Dusun Bojong (Desa Wonolelo) dan Dusun Lemahrubuh (Desa Selopamioro).
"Dan, untuk (Kabupaten) Kulon Progo tahun ini, dan pemasangan EWS (berbasis teknologi) dilakukan di Dusun Ngrancah, Desa Pendoworejo, Dusun Klepu, Desa Banjararum dan Dusun Jeruk, Desa Gerbosari," katanya.
![]() |
Lebih lanjut, EWS yang terpasang di tiga titik rawan longsor itu berfungsi untuk mengukur gerakan tanah, kemiringan lereng, hingga kelembaban tanah. Danang juga menjelaskan secara teknis cara kerja EWS terbaru ini.
"Jadi, pada alat ini terdapat sensor yang terkoneksi dengan HP. Nah, sensor itu akan mengirimkan laporan kondisi di lapangan ke HP orang yang mengoperasikannya, baik kami atau perangkat Desa. Sehingga kalau bahaya kita bisa lebih cepat memberi peringatan ke warga," tutur dia.
Selain itu, dengan monitoring melalui gawai memudahkan BPBD melakukan perawatan apabila EWS mengalami masalah. Mengingat petugas tidak perlu mendaki ke tempat tinggi di mana EWS itu terpasang.
"Dan, ketika (EWS) tidak berfungsi kita bisa tahu lewat HP dan bisa langsung diperbaiki sama timnya dan itu menghemat biaya perawatan," katanya.
Danang menambahkan, EWS dengan teknologi terkini itu adalah hasil kerja sama dengan Universitas Gadjah Mada (UGM), di mana harga per unitnya sekitar Rp 800 juta. Namun, Danang optimis alat tersebut bisa diproduksi dengan biaya lebih murah dan ke depannya semua EWS di DIY bisa menggunakan teknologi terkini.
"Ini (EWS dengan teknologi terkini) masih prototipe, tapi kalau kita sudah kuasai teknologinya, harapannya bisa direplikasi dan diterapkan di DIY," pungkas Danang.
(agt/fay)