Menurutnya, pemanfaatan teknologi tak lepas dari tata kelola dan pelaksanaannya juga. Sebutan smart city baru bisa disematkan bila kota tersebut bisa dengan cepat merespons masalah yang terjadi atau yang dilaporkan masyarakat.
Suhono menambahkan, teknologi sejatinya cuma untuk memudahkan agar respon lebih cepat dilakukan. Untuk memprediksi kejadian seperti banjir, melakukan analisa, kemudian menemukan solusi. Intinya adalah, sukses atau tidaknya implementasi smart city pada akhirnya bergantung pada tata kelola dan pelaksanaannya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Foto: detikINET/Yudhianto |
Namun menurut Suhono, implementasi smart city di Indonesia belum optimal. Kota-kota yang telah menerapkan smart city masih terpencar-pencar soal implementasinya. Kebanyakan masih dalam konteks mengintegrasikan.
"Membangun terpencar-pencar, masih konteks mengintegrasikan. Smart city yang berhasil (parameter) nilainya 80-100. Tapi kota-kota di Indonesia yang sudah menerapkan smart city nilainya masih berada di angka 40-60, termasuk Jakarta," imbuhnya.
Rendahnya nilai tersebut juga tak lepas dari masyarakatnya sendiri. Tak sedikit masyarakat yang antusias memanfaatkan kelebihan yang dimiliki smart city, misalnya dengan sering melakukan pelaporan. Namun tak sedikit juga masyarakat yang masih saja jadi penyebab munculnya laporan tersebut, misal buang sampah di tempat yang tidak seharusnya.
"Kalau teknologi tinggal beli saja, tapi mindset harus diedukasi. Untuk mengubah pola pikir masyarakat," pungkas Suhono. (yud/rou)
Foto: detikINET/Yudhianto