Menurut Presiden Direktur Microsoft Indonesia Andreas Diantoro, transformasi digital sejatinya bukan suatu inisiatif baru, bahkan sebenarnya sudah ada di Indonesia dan banyak yang sudah coba lompat ke sana.
Hanya saja, seperti yang pernah disinggung, definisi transformasi digital berbeda-beda bagi banyak perusahaan. Dimana pada akhirnya, punya toko online dianggap sudah melakukan transformasi digital. Namun itu perspektif yang salah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun ada satu hal yang mengganjal di hati Andreas jika berbicara soal transformasi digital, yakni regulasi. Regulasi yang dimaksud adalah Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem Transaksi Elektronik (PP PSTE), terutama terkait pembangunan data center. Regulasi ini dianggap sangat protektif. Terlebih, regulasi tersebut dianggap sudah tak lagi mewakili kondisi terkini.
"PP 82 terkait penyimpanan data yang harus on premise, jadi harus ada data centernya di Indonesia. Cuma kita kan selalu bicara bahwa data ini milik kamu, kamu yang kelola data tersebut, tempatnya di mana, service level tinggi dan sekuriti merupakan prioritas nomor satu," ungkapnya saat berbincang dengan detikINET di sela Microsoft Worldwide Partner Conference di Toronto, Kanada.
![]() |
"PP 82 mestinya bisa mengikuti perkembangan teknologi yang sedemikian cepat. Pada tahun 2007-2008 ketika teknologi cloud computing mulai dimasak mungkin tak ada yang mengerti cloud, tapi sekarang dalam 2-3 tahun perkembangannya luar biasa," lanjut Andreas.
Regulasi lainnya yang juga disorot terkait derap langkah cloud dan transformasi digital adalah Undang-undang Bank Indonesia tahun 2007 yang tak lagi memperbolehkan sama sekali layanan public cloud di industri perbankan. Jadi setiap bank harus punya data center sendiri, backup data sendiri, yang ujung-ujungnya malah akan menguras biaya.
Kini, dengan teknologi cloud yang berkembang pesat dan tuntutan era digital yang tak bisa dielak, Andreas pun berharap dua regulasi tersebut bisa lebih fleksibel. Misalnya dengan kemungkinan revisi terhadap PP 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem Transaksi Elektronik (PP PSTE), sedangkan UU BI tahun 2007 bisa disesuaikan akhirnya menjadi per workload.
"Itu akan sangat menurunkan cost. Workload di sini maksudnya untuk area tertentu dari data konsumen tidak apa-apa harus ditempatkan di datacenter di Indonesia. Sementara data internal email boleh dilakukan lewat cloud. Jadi bank gak perlu email server sendiri, sekarang ini masih banyak perusahaan di Indonesia yang masih melimit email perusahaan cuma sampai 10 MB per bulan. Kapasitas 10 MB foto dua kali sudah gak bisa masuk itu," papar Andreas.
"Padahal data perbankan untuk mengecek aset, bisa direkam dengan cara difoto lalu dimasukkan ke sistem. Itu yang saya sebut bisnis proses yang harus digital. Kalau pakai Office 365, 1 user itu sudah punya kapasitas 1 TB, dan pelanggan tidak lagi perlu menyediakan email server, dan mau menggunakan aplikasi apa saja bisa serta mendukung semua platform: iPad, Mac, Android, semua bisa," imbuhnya.
Meski demikian, bos besar Microsoft di Indonesia itu mengakui aturan yang mewajibkan membangun data center di Indonesia tersebut muncul lantaran adanya kekhawatiran soal keamanan data jika ditempatkan di cloud.
Namun dengan sangat yakin, Andreas menjawab bahwa keamanan public cloud dari para vendor teknologi sudah terjamin. "Saya kira kalau dari sekuriti banyak dari public cloud yang sekuriti levelnya jauh lebih bagus dari punya Anda semua. Dan bisa dijamin, sertifikasinya jelas," tegasnya.
Ia melanjutkan, data merupakan milik konsumen dan Microsoft menjamin akan selalu melindungi data konsumen, tanpa perlu khawatir diintervensi oleh berbagai pihak ataupun pemerintah.
Andreas kemudian menjelaskan polemik privat dan hybrid cloud lewat analogi ketika bank pertama kali masuk ke Indonesia. Pilihannya saat itu adalah, mau menyimpan aung di bawah bantal dimana tempatnya kelihatan tetapi bisa hilang setiap saat. Atau pilihan kedua di bank, tempatnya tak kelihatan tapi lebih aman.
"Saat itu orang masih mikir, 'loh duitnya saya titipin ke bank tapi gak liat uangnya, aman gak ya? Atau disimpan di lemari?'. Sama saja sebenarnya seperti itu. Data yang di dalam country itu sama saja simpan di rumah sendiri, di tempat sendiri. Pilihan kedua adalah disimpan di perusahaan yang memang mengkhususkan menyimpan data-data Anda agar lebih efisien. Analogi gampangnya kira-kira seperti itu," tuturnya.
Selain aturan, Andreas tak melihat lagi jalan terjal yang bisa memnghambat cloud semakin tinggi sekaligus mewujudkan transformasi digital di Indonesia. Sebab dari sisi user biasanya akan ikut. Terlebih generasi milenial yang saat ini jadi konsumen digital merupakan seorang digital native. Dimana proses edukasi ke generasi yang mengisi era sekarang dan masa depan tersebut sejatinya bakal jauh lebih mudah.
"Cuma pertanyaannya, apakah perusahaan Anda sudah mempersiapkan diri untuk melayani pelanggan saat ini dan untuk masa depan? Maka dari itu predictive needs penting. Jangan sampai milenial berubah, kitanya belum. Pertanyaannya, apakah kita bisa tetap bertahan tanpa melakukan transformasi?" tandas Andreas. (ash/fyk)
