Pro Kontra Taksi Online Harus Ber-STNK Nama Perusahaan
Hide Ads

Pro Kontra Taksi Online Harus Ber-STNK Nama Perusahaan

Rini Friastuti - detikInet
Jumat, 22 Apr 2016 17:27 WIB
Foto: Ilustrasi Bagus S Nugroho
Jakarta - Selama ini taksi online beroperasi atas nama pribadi dan perusahaan rental. Dalam Permenhub 32/2016, taksi online harus ber-STNK atas nama perusahaan. Aturan itu menimbulkan pro kontra. Lantas, apa solusi Kemenhub?

Salah satu syarat taksi online untuk memperoleh izin harus memiliki minimal 5 kendaraan yang dibuktikan dengan STNK atas nama perusahaan. Pencantuman nama perusahaan di STNK rupanya menjadi salah satu kendala bagi Kemenhub. Karena banyak pemilik kendaraan yang enggan mencantumkan nama perusahaan di STNK mobil milik pribadi mereka.

"Tadi yang menjadi agak krusial itu mereka (pemilik mobil) sepertinya tidak mau menjadi badan hukum di STNK nya," ujar Dirjen Perhubungan Darat Kemenhub Pudji Hartanto.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pudji mengatakan hal itu dalam jumpa pers tentang sosialisasi Permenhub 32/2016 di Gedung Kemenhub, Jl Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Jumat (22/4/2016).

(Baca juga: Argo Taksi Online akan Diatur Pemerintah agar Tak Bisa Seenaknya)

Pudji mengatakan hal tersebut sebenarnya bukanlah masalah serius. Beberapa solusi pun diberikan kepada para pemilik kendaraan ini.

"Ada hal yang kita lakukan. Misalnya di kepolisian, misalnya perusahaan (perusahaan aplikasi)-nya apa nanti bisa dicantumkan dengan nama yang bersangkutan. Kemudian bisa juga atas nama perusahaannya itu tapi dia membuat baru untuk ikatan perjanjian dengan perusahaan itu," jelasnya.

"Misalnya saya masuk online, perjanjian dengan perusahaan itu bahwa mobil saya boleh digunakan oleh perusahaan. Dan apabila kami tidak (ingin kerjasama lagi), kami akan tarik kembali (mobil), itu juga bisa. Sehingga tidak ada kesan bahwa mobil milik perusahaan itu," kata Pudji memberi contoh.

Pudji kembali menegaskan aturan tarif bagi perusahaan berbasis aplikasi. Apabila ingin menentukan tarif harus atas persetujuan pemerintah.

"Lalu mengenai tarif saya jelaskan lagi, kita tidak boleh sembarangan. Harus ada persetujuan juga dari kita yang perorangan dengan perusahaan, dan ada kesepakatan. Kesepakatan itu harus ada persetujuan dari pemerintah, tidak sembarangan lagi," ujarnya.

"Mengenai penetapan tarifnya, itu yang sedang kami bahas. Paling tidak itu berdasar pada tarif atas dan tarif bawah," pungkas mantan Kapolda Sulsel ini. (jsn/fyk)