Pajak cuma-cuma rencananya akan diterapkan pada beberapa model bisnis e-commerce seperti iklan baris online dan marketplace yang sebagian besar jasanya dapat dinikmati oleh masyarakat secara gratis.
"Gak setuju. Kita kan sudah bayar PPN, kena lagi 10%, itu yang keberatan," kata CEO Bukalapak Achmad Zaky ditemui usai penandatangan kerjasama dengan Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) di Plaza City View, Kemang, Jakarta Selatan, Selasa (12/4/2016).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Takutnya kalau digituin kita jadi less competiitive. Para pelapak ini juga jualannya jadi turun ke Facebook misalnya, jadi underground lagi. Jadi ya pemerintah harus hati-hati melihat ekosistem ini," sarannya.
Menanggapi isu ini, Kepala Bekraf Triawan Munaf yang ditemui di acara yang sama, punya pendapat senada dengan Zaky. Dia memaklumi keberatan para pelaku e-commerce soal pajak cuma-cuma.
"Pastinya mereka keberatan. Ya karena, gimana sih gratisan kok kena pajak. Ini yang harus diperjuangkan, bagaimana mengkategorikan bahwa ini gratis, ini nggak. Jadi harus ada sistemnya bagaimana ini dilaporkan, tetap sebagai data, tapi tidak dikenai pajak," jelasnya.
Dia mencontohkan, bagaimana misalnya produsen susu membagi-bagikan sampel susu gratis sebagai bagian dari upaya promosi. Maka sepatutnya sampel tersebut tidak masuk dalam angka barang terjual yang dikenai pajak.
"Jangan sampai di awal-awal startup ini sudah kena pajak yang mereka tidak dapat uangnya. Jadi uang masuk ke negara berdasarkan transaksi yang tidak ada. Mereka perlu pancingan-pancingan promosi," sebutnya. Β
Triawan sependapat bahwa penerapan aturan pajak jangan sampai mematikan perusahaan pemula yang seharusnya perlu didukung. Bekraf saat ini sedang berupaya berkoordinasi dengan para pelaku e-commerce, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) dan Ditjen Pajak membahasa masalah ini.
"Pemerintah harus terbuka. Ini adalah sesuatu yang baru, jadi wacana untuk didiskusikan. Kami usahakan akan ada titik temu secepatnya," janjinya. (rns/rou)