Kategori Berita
Daerah
Layanan
Detik Network
detikInet
Pro Kontra e-Commerce 100% Asing
Jangan Kita Kembali Menjadi Pesuruh di Negeri Sendiri
Pro Kontra e-Commerce 100% Asing

Jangan Kita Kembali Menjadi Pesuruh di Negeri Sendiri


Penulis: Dimitri Mahayana - detikInet

Foto: Dok. Pribadi
Jakarta - Detikcom pada Jumat (15/1/2016) lalu mewartakan wacana Menkominfo Rudiantara tentang industri e-commerce di Indonesia yang bisa dominan investor asing.

Respons awal bagi penulis, tentu saja, sangat tidak setuju! Alih-alih melalukan pembenahan elementer, dan apalagi memproteksi perdagangan elektronik Indonesia (seperti dilakukan Pemerintah Tiongkok), 'karpet merah' malah direncanakan dibuka demikian bebas.

Apa itu pembenahan elementer? Bagaimana proteksi yang dilakukan? Adakah solusi antara yang memenangkan semua pihak alias win-win solution? Perkenankan penulis memulai pembahasan terkait penguatan mendasar industri perdagangan daring ini.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sejak Agustus 2015, penulis sudah menulis dan mengingatkan bahwa di balik mulai terbentuknya ekosistem yang kondusif terhadap e-commerce, jangan lupakan adanya potensi lubang keamanan yang demikian menganga.

Sayangnya, tidak ada langkah dan respons regulator dalam ketentuan teknis standar perangkat lunak yang wajib diikuti pelaku pasar. Maka, hasilnya kita ketahui bersama, pada awal Januari ini, salah satu aplikasi populer e-commerce (Go-Jek) ditenggarai memiliki banyak bug.

Padahal ini membahayakan sisi keamanan data pengguna maupun sisi finansial pelaku. Di sisi lain, jangankan di Indonesia yang baru mekar tumbuh, potensi celah keamanan aplikasi di negara maju pun demikian besar yang cenderung merugikan pengguna akhir.

Data secara global, serangan malware tahun 2015 membidik transaksi e-commerce sebesar 30% serta sisanya membidik mobile banking. Di seluruh dunia, serangan malware pada Q1 2015 ada 147.835 serangan sementara Q2 2015 sebesar 1.048.129.

Jadi sampai saat ini, sejauh pengetahuan penulis, belum ada poin regulasi pemerintah yang menekankan perlindungan konsumen perdagangan dalam jaringan (daring/online) yang risikonya berlipat karena menggabungkan aspek keamanan cyber space dan real space ini.

Siapakah sebenarnya yang berhak mengetahui jalur perjalanan harian seorang wanita eksekutif yang berlangganan Go-Jek/Uber/Grab/dst? Apakah operator layanan berhak menyimpan data-data tersebut? Bagaimana risikonya? Dan aneka pertanyaan derivatif lainnya.

Jika ditarik lebih jauh, dengan pergeseran aplikasi ke ke fase IoT (Internet of Things), contohnya aplikasi track & trace, bagaimanakah sebenarnya perlindungan keamanan dan privasi yang diatur negara? Apakah risiko physical security dan geographical security sudah diantisipasi?

Karenanya, di mata penulis, daripada mewacanakan 100% e-commerce boleh asing, jelas lebih bijak jika pemerintah segera menata regulasi mendasar ini daripada muncul peluang meningkatkan kriminalitas di Indonesia β€” yang gilirannya melemahkan ketahanan nasional.

Pertanyaan elementer berikutnya adalah terkait data center sebagai roh vital apapun layanan e-commerce di Indonesia. Seberapa jauhkah Kewajiban PP No 82 tahun 2014 tentang penyelenggaraan sistem dan transaksi elektronik ini masih banyak diabaikan?

Apakah seluruh pelaku e-commerce, terutama yang berasal dari asing, masih belum menyimpan pusat datanya di Indonesia? Jika masih banyak yang belum, maka tak berlebihan jika booming saat ini sesungguhnya parsial dan sebatas permukaan.

Ini yang penulis pertanyakan sejak Mei 2015 lalu. Ini terjadi karena untuk pertanyaan sederhana di bawah ini, belum kita peroleh jawaban memuaskan dari regulator.

Misalnya sikap negara kita terhadap dua standar global daya center yakni TIA 942 dan Uptime Institute. Bila dinilai standar TIA 942, seluruh data center di Singapura (sebagai pilihan mayoritas pelaku e-commerce yang beroperasi di Indonesia kini), bahkan yang mencapai availability 99,9999% pun, tidak bisa masuk kriteria Tier IV atau yang terbaik.

Alasannya, karena tidak ada dua electrical utility company di Singapura. Di sisi lain, jika standar Uptime Institute yang digunakan, maka nilai Tier suatu data center sama sekali tidak tergantung keberadaan perusahaan listrik pemerintah pada suatu tempat atau negara.

Sebuah pusat data, menurut Uptime Institute, malah harus bisa mandiri seterusnya tanpa adanya electrical utility company di suatu tempat. Bahkan, harus mampu berjalan atas dukungan generator milik sendiri dari data center tersebut.

Penggunaan daya listrik dari sebuah negara hanya karena alasan ekonomis yaitu lebih murah karena skala ekonomisnya sangat tinggi. Jadi, inilah jadinya kalau belum ada rujukan pemerintah. Dalam versi Uptime Institute, data center di Indonesia pun banyak yang bisa mencapai Tier IV.

Kembali lagi pada pertanyaan penulis, apakah soal kewajiban pusat data dengan standar yang ajeg ini sudah sepenuhnya ditegakkan pemerintah? Jika belum, sepantasnya terapkan aturan soal ini dibandingkan membuka wacana membuka investor asing kian leluasa di tanah air! Β 

Haruskah Ada Proteksi?

Selalu ada kesepakatan yang tak sepakat terkait pasar bebas dan nasionalisme, demikian pula di ranah e-commerce. Namun sebagai anak bangsa, yang dilahirkan dan dibesarkan merah putih, standing position haruslah ada sedari awal β€” apalagi kita tahu akan ke mana arahnya. Β 

Mengacu pengamatan dan proyeksi penulis, dalam beberapa tahun ke depan, porsi ekonomi bangsa yang bergeser ke e-commerce akan sangat masif dan luas. Untuk Indonesia yang demikian besarnya, kalimat yang pantas disematkan: Ini pasar seksi karena amat sangat besar.

Kita sudah membaca berbagai data riset pemerintah terkait nilai pangsa pasar daring ini. Sedemikian besarnya, sehingga bangsa asing β€” terutama pemodal yang kerap diistilahkan angel investor sudah duluan gerilya dan menyergap, jauh sebelum wacana di atas muncul.
Sumber: Sharing Vision, Desember 2015.

Data lain, yang bikin kita makin mengurut dada, juga sudah terjadi. Sebab, angle investor asing, terutama dari Jepang, sudah banyak menguasai sejumlah aplikasi e-commerce unggulan tanah air yang sebetulnya mungkin untuk bertumpu pada kaki sendiri.
Sumber: Sharing Vision, Desember 2015.

Karena itulah, penulis mendesak selain pembenahan elementer, maka jangan buka lagi keran lebar sehingga akhirnya kita kehilangan semuanya! Jangan sampai penguasaan asing yang sudah dominan terhadap industri perdagangan elektronik, malah makin menjadi di tahun ini dan selanjutnya.

Bukan berarti kita anti asing atau tidak mau ikut langgam koneksi global sebagai sebuah keniscayaan pada hari ini, namun pemerintah harus benar-benar mengatur dengan baik ada sisi industri e-commerce yang bisa sepenuhya dilepas, sebagian, atau tidak sama sekali.

Contohnya jika terkait dengan platform, selayaknya hak cipta dan aspek bisnisnya diproteksi negara sehingga investor asing tidak bisa mengklaim karya anak bangsa itu sekalipun mereka menanam saham. Atau kita biarkan mereka membeli saham tapi tetap dengan porsi minoritas.

Jadi, setidaknya bagi penulis, solusi antara yang bisa dikedepankan adalah keran tetap dibuka sehingga kita tetap terkoneksi dengan skema bisnis global. Namun di sisi lain, kita tetap menjadi tuan rumah di negeri sendiri dengan pengaturan sisi strategisnya. Kita harus betul-betul hayati dan belajar dari bisnis operator seluler dan perbankan, yang perlahan namun pasti membuat bangsa Indonesia yang tadinya pemilik, kini kebanyakan menjadi pesuruh di negerinya sendiri.

*) Penulis, Dr. Dimitri Mahayana adalah Chief Lembaga Riset Telematika Sharing Vision, Bandung. Bisa dihubungi melalui dmahayana@sharingvision.com. (ash/ash)





Hide Ads