Momen Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas) ke-107 pada 20 Mei 2015 ini, dalam konteks bidang teknologi informasi komunikasi (TIK), sepatutnya menjadi momen kontemplasi bersama guna mencuatkan potensi bangsa yang harus terus dioptimalkan.
Dalam pandangan penulis, salah satu potensi hebat dari awal tahun ini hingga sekarang adalah kian sempurnanya electronic channel/e-channel yang merepresentasikan kian lekatnya kehidupan masyarakat Indonesia dengan berbagai aplikasi TIK.
Kita sebut saja yang paling mudah ditemukan dan terus menggelinding, adalah kian banyaknya pengguna ponsel cerdas (smartphone) sekitar 30 juta orang. Mereka pastinya termasuk populasi eksponensial netizen yang saat ini diperkirakan mencapai 75 juta orang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Data Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) pada Maret lalu ini selanjutnya menekankan, motivasi tertinggi netizen adalah media sosial dengan pengguna aktif 62 juta orang dengan 52 juta di antaranya akses media sosial via gawai rerata tiga jam per hari.
Urutan kedua dan ketiga adalah pengguna mencari informasi serta mengirim/menerima surel masing-masing 48 persen. Urutan keempat pengunduhan, chatting, dan belajar rata-rata 47 persen dan sisanya bermain game dan sejenisnya di bawah 35 persen.
Situasi ini konkruen, sebangun dengan jumlah pengguna telekomunikasi seluler di Indonesia yang diperkirakan sudah tembus angka 300 juta orang atau melampaui jumlah total penduduk. Kominfo memperkirakan setiap satu pengguna ponsel rata-rata memiliki tiga SIM card.
Melihat demikian tingginya intensitas data awal ini maka menjadi tak mengherankan jika e-channel saat ini bukan sekadar gaya hidup (lifestyle), namun sudah menjadi pilihan hidup (way of life) yang menyenangkan, produktif, dan berfaedah banyak.
Misalnya mesin electronic data capture (EDC) yang totalnya se-Indonesia berjumlah 737 ribu terminal, sebagian kini banyak digunakan pedagang kaki lima! Penggunaan SMS banking dan internet banking saat ini diproyeksikan masing-masing 23,65 juta dan 12 juta pengguna.
Kemudian geliat uang digital alias e-money tampak pada layanan moda transportasi seperti Transjakarta dan KRL Komuter. Pembayaran tol saat ini meliputi pembayaran di 30% gardu tol otomatis di Indonesia sudah berbasis e-money, juga pembayaran parkir elektronik di stasiun KRL Jabodetabek dan parkir on the street mencapai 114 titik di Jakarta --yang baru-baru ini diresmikan pemerintah DKI Jakarta.
Survei Sharing Vision Maret lalu juga memperlihatikan fenomena menarik e-channel lainnya yakni e-dagang, yakni responden menyatakan pernah menjual barang dan membeli barang di media sosial masing-masing mencapai 30% dan 50% dengan Facebook terbanyak digunakan.
Selain itu, 49% responden pernah menjual barang melalui laman e-commerce seperti OLX, Tokopedia, Bukalapak, Kaskus, dll, dan 68% pernah melakukan pembelian di situs tersebut. Dan, dari top 10 e-dagang di Indonesia, 8 diantaranya adalah laman e-commerce yang berkedudukan di Indonesia.
Menetapkan Peta Jalan
Akan tetapi, kembali ke soal kontemplasi, seluruh pergerakan e-channel di atas ini belum seluruhnya merepresentasikan kebangkitan sektor teknologi informasi secara hakiki di negeri ini. Suka tidak suka, faktanya di lapangan, yang esensial masih terlewati.
Β
Yang substansif tersebut, dalam opini penulis, adalah (lagi-lagi) tentang data center. Seberapa banyak dan mendalam dari seluruh pelaku bisnis e-channel yang sudah menggunakan pusat data di tanah air? Seberapa taatkah, terutama pelaku industri TIK global, pada regulasi data center?
Kita tak bisa menutup mata, dan ini sudah berlangsung lama bahkan kerap jadi polemik, bahwa pebisnis TIK (terutama over the top/OTT semacam perusahaan media sosial dan e-commerce) yang mayoritas asing, belum benar-benar menggunakan data center di Tanah Air.
Β
Kewajiban PP No 82 tahun 2014 tentang penyelenggaraan sistem dan transaksi elektronik ini banyak diabaikan, sehingga efek berantainya terhadap ekonomi negara belum kuat. Tak berlebihan jika kebangkitan sektor TIK di Indonesia masih parsial dan sebatas permukaan.
Hal ini bertambah rumit ketika kemudian banyak sektor privat yang mulai berinvestasi serius pada data center di Indonesia, namun belum disertai penetapan pemerintah atas standar yang memadai, alih-alih telah hadir peta jalan (roadmap) yang memandu seluruhnya.
Standar ini kita bisa lihat, kini sebagian berpegang standar TIA 942, sebagian standar Uptime Institute, sebagian standar di luar dua mayoritas tadi. Ini membuat standar yang jauh beda ini menciptakan pula kesimpulan dan output yang bisa jauh berbeda.
Ambil contoh bila dinilai dengan standar TIA 942, seluruh data center di Singapura (sebagai pilihan mayoritas OTT yang beroperasi di Indonesia), bahkan yang mencapai availability 99,9999 % pun tidak bisa masuk kriteria Tier IV atau yang terbaik.
Alasannya, karena tidak ada dua electrical utility company di Singapura. Di sisi lain, jika standar Uptime Institute yang digunakan, maka nilai Tier suatu data center sama sekali tidak tergantung pada keberadaan perusahaan listrik pemerintah pada suatu tempat atau negara.
Sebuah pusat data, menurut standar Uptime Institute, malah harus bisa mandiri seterusnya tanpa adanya electrical utility company di suatu tempat. Bahkan, harus mampu berjalan atas dukungan generator milik sendiri dari data center tersebut.
Penggunaan daya listrik dari pemerintah hanya karena alasan ekonomis saja yaitu lebih murah karena skala ekonomisnya sangat tinggi. Jadi, inilah jadinya kalau belum ada rujukan, jika menurut standar Uptime Institute, data center di Indonesia pun banyak yang bisa mencapai Tier IV.
Padahal, mengacu survei Sharing Vision, kebutuhan pusat penyimpanan data ini terus berkembang, dengan kebutuhan luas data center lebih dari 220. 000 meter persegi.
Β
Kebutuhan pengguna atas data center dan atau disaster recovery center, khususnya yang dilakukan secara collocation, di antara responden perusahaan akan meningkat lima tahun ke depan. Dari survei yang sama, data center yang digunakan perusahaan di Indonesia kebanyakan masih level Tier III (55%), perusahaan menggunakan Tier II (30%), dan hanya 5% perusahaan menggunakan Tier IV.
Akhir kata, agar seutuhnya sektor TIK di Indonesia bangkit pada momen Harkitnas ke-107 ini, maka pemerintah hendaknya dapat mengawal perkembangan data center di Indonesia dengan menetapkan arah standar dan roadmap secara dengan bijak.
Kominfo harus menetapkannya sesuai kebutuhan Indonesia serta kondisi lokal pasar data center di Indonesia, dengan mengedepankan aspek keamanan baik siber maupun fisik, sekaligus aspek kedaulatan NKRI dalam pengelolaan data dan informasi. Bangkit dan maju terus!
*) Penulis, Dr. Dimitri Mahayana adalah Chief Lembaga Riset Telematika Sharing Vision, Bandung. Bisa dihubungi melalui dmahayana@sharingvision.com.
(ash/ash)