Kategori Berita
Daerah
Layanan
Detik Network
detikInet
Laporan dari Stockholm
Inovasi atau Mati!
Laporan dari Stockholm

Inovasi atau Mati!


Ardhi Suryadhi - detikInet

Eva Hamilton (ash/inet)
Stockholm -

Masyarakat kini tak lagi jadi sekadar penonton. Mereka juga merangkap 'profesi' sebagai sutradara, produser, termasuk bintang di dalamnya. Kemajuan teknologi yang membuat hal ini terjadi.

Demikian dikatakan Eva Hamilton, CEO Sveriges Television (SVT) yang merupakan perusahaan televisi publik Swedia di acara Ericsson Business Innovation Forum yang digelar di Stockholm.

Eva yang datang dari industri televisi sadar akan perubahan yang terjadi. Ia bercerita, ketika orang-orang menonton konser musik di 2005 dan tahun-tahun sebelumnya, mereka benar-benar jadi penonton. Datang hanya untuk menikmati penampilan yang disuguhkan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Namun hal tersebut tak lagi berlaku kini. Mereka yang menonton konser juga membuat suatu konten (foto atau video), diatur sendiri sedemikian rupa layaknya seorang sutradara, 'dibintangi' oleh mereka serta didistribusikan ke mana-mana melalui situs berbagi video atau media sosial.

"Artinya di sini adalah mereka tak cuma jadi penonton. Tetapi juga seorang sutradara, produser sekaligus bintangnya," lanjut Eva.

Lantas, apa hikmah yang bisa diambil dari perubahan fenomena ini? Inovasi adalah harga mati! Termasuk bagi industri televisi yang Eva geluti.

Eva mengakui jika ketergantungan orang zaman sekarang dengan teknologi -- khusus internet -- telah mentransformasi berbagai hal termasuk masa depan. Tinggal tergantung pemain di industri ini, apakah mau menolak perubahan tersebut dan lama-lama tergilas atau ikut bertransformasi dengan membuat inovasi baru sehingga bisa turut menyambut masa depan.

"Termasuk di industri televisi, kami memang masih mengandalkan iklan tradisional di televisi, dan belum bisa ditinggalkan. Tetapi kami sudah mencari peluang dari arena yang lain," kata eksekutif yang sudah puluhan tahun jadi wartawan ini.

Eva mengungkapkan, industri televisi harus bisa membaca pergerakan internet dan dampak yang dihasilkannya untuk bisa survive. Termasuk ketergantungan penonton dengan mobile streaming dan layanan berbagi video.

Termasuk fenomena bayi 2-3 tahun yang saat ini juga sudah akrab dengan tablet PC. Sebab, mereka yang akan menjadi motor masa depan. Jadi stasiun TV pada akhirnya tak sekadar jadi penonton. Tetapi turut berkontribusi dan meraup peluang dari perubahan yang terjadi.

Eva memberi contoh bagaimana Disney rela membayar startup bernama Maker Studio sebesar USD 500 juta. Jadi yang diminta Disney ke Maker Studio adalah melakukan filtering terhadap konten video di YouTube yang dianggap potensial untuk memonetisasi.

"Dari filtering itu bisa dijabarkan mana video di YouTube yang memiliki viewers tinggi, cari tahu siapa pembuatnya dan berasal dari mana. Setelahnya, si pemilik konten diajak untuk konsultasi serta membuat konten sendiri, atau ada yang sampai diajak untuk membuat program TV sendiri," kata Eva.

Jangan anggap sepele artis YouTube. Sebab bisa jadi ia bisa meraup jutaan dolar dari video iseng-isengnya tersebut dan menjadi jutawan.

Salah satu contoh sukses artis YouTube yang diungkapkan Eva adalah PewDiePie. Sekilas, video yang dibuat pemuda ini sederhana, yakni berkutat tentang cara memainkan suatu game.

Namun ternyata, banyak pengguna internet yang menyaksikan video racikan PewDiePie ini untuk 'mencuri' ilmu dari game yang dimainkannya. Tapi lebih dari itu, dia memberikan bumbu-bumbu yang membuat videonya punya ciri khas.

Yakni karena 'berisik'. Maksudnya, dia bermain game sembari berkomentar dengan mimik wajah kadang lucu. Apalagi jika dia bermain game horor. Terkesan konyol, tapi aliran uang yang masuk akan membuat Anda tercengang.

Menurut anÃĄlis Youtube, SocialBlade, pendapatan dari pria kelahiran 1989 ini bisa mencapai USD 1,8 juta sampai USD 18 juta atau sekitar Rp 180 miliar!

Semua pendapatan itu didapatkan pria bernama asli Felix Arvid Ulf Kjelberg ini dari iklan ataupun jumlah yang menyaksikan videonya. Apalagi video PewDiePie soal bermain video telah ditonton lebih dari 4,3 miliar kali oleh pengunjung.

Waze, Uber, dan Tesla

Mike Arauz, konsultan dari Undercurrent mengungkapkan, jika melihat perubahan yang terjadi dewasa ini maka transformasi tak bisa dihindari.

Bahkan termasuk bagi mereka yang arena bermainnya di dunia digital. Seperti pengembang aplikasi misalnya, yang dianggap tak bisa bisa membuat aplikasi pasaran tanpa ada sisi menariknya. Jika demikian ya sama saja cuma jadi penggembira.

Waze, Uber dan Tesla dianggap sebagai tiga perusahaan yang telah sukses menghadirkan layanan di tengah era transformasi ini.

Waze disebut Mike sebagai peta digital lengkap lantaran juga memikirkan bagaimana menarik pengguna untuk berkontribusi dalam meramaikan aktivitas di layanan tersebut serta fiturnya yang menarik namun tetap ramah saat digunakan.

Jadi wajar saya jika Google kesengsem dengan Waze dan rela meminangnya senilai USD 1 miliar pada Juni 2014, meski di saat bersamaa Google sudah punya Google Maps.

Sementara Uber dianggap dapat bisa lebih berkembang lebih jauh, tak cuma jadi layanan pemesanan taksi. "Kalau saya di FedEx atau UPS akan khawatir dengan perubahan bisnis Uber ini karena bisa juga bertransformasi jadi layanan pengantaran barang," kata Mike.

Adapun Tesla dinilai jadi pelopor mobil listrik yang dicari banyak orang. Tesla sukses mendobrak stereotype yang menganggap jika mobil listrik tak punya penampilan menarik.

"Terlebih mereka kini tengah mengembangkan stasiun pengisian bahan bakar yang juga bakal bisa digunakan oleh mobil listrik lainnya. Jadi Tesla bisa menjual platform mobil listriknya serta bisa meramaikan industri mobil listrik secara keseluruhan," Mike menandaskan.

(ash/fyk)





Hide Ads