Meneguhkan Digital Banking dan Branchless Banking di Indonesia
Hide Ads

Kolom Telematika

Meneguhkan Digital Banking dan Branchless Banking di Indonesia

Dimitri Mahayana - detikInet
Senin, 08 Mar 2021 17:51 WIB
Dimitri Mahayana
Dimitri Mahayana. Foto: dok. Dimitri Mahayana
Jakarta -

Pada Desember 2020, kami di Sharing Vision melakukan survey bertajuk E-Channel Fintech E-Commerce & e-Lifestyle dengan melibatkan 1.729 orang responden. Hasilnya yang utama adalah 91% responden telah menggunakan uang elektronik (e-money).

Menurut responden dalam jawaban terbukanya, merujuk survey, Gopay menempati peringkat pertama e-money terbanyak digunakan sebesar 81% responden. Selanjutnya, OVO 71%, Shopeepay 44%, Dana 41%, Mandiri e-money 21%, Flazz 18%, Link Aja 16%, Brizzi 5%, i.saku 2%, Jakcard 1%, Paytren 1%, dan lainnya 2%.

Sebagai salah satu gambaran kondisi riil di masyarakat disebutkan, e-money terbanyak digunakan untuk pembayaran jasa antar makanan sebanyak 86% responden. Kemudian pembayaran transportasi daring (77%), pembelian pulsa (67%), e-commerce (61%), pembayaran resto/kafe (58%), pembayaran tol (41%), pembayaran minimarket (36%), transportasi umum (31%), tiket parkir (28%), utilitas (22%), lainnya (4%).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sebanyak 78% responden mengaku pernah menggunakan layanan pembayaran QR code. Mereka umumnya menggunakan untuk pembayaran makanan di resto atau kafe, pembayaran di minimarket, supermarket, atau mall.

Adapun motivasi penggunaannya sendiri bervariasi. Mulai karena simpel, aman, efisien, banyaknya promo, mandatori e-money seperti tol, hingga salah satunya jawaban menunjukkan preferensi masyarakat Indonesia kekinian: Tidak perlu datang ke bank.

ADVERTISEMENT

Kalimat terakhir yakni tidak perlu datang ke bank, jika menggunakan frase anak muda sekarang yaitu mager (males gerak) adalah sebuah ungkapan yang menuntut kesigapan semua pihak untuk meneguhkan digital banking dan atau branchless banking di tanah air.

Mager adalah menjadi keseharian kita semua --tak lagi generasi muda-- yang kemudian bertambah 'legalitasnya' dan magnitude-nya seiring dengan pandemi berkepanjangan Covid 19 di Indonesia sejak Maret 2020 lalu.

Historis Terkait

Sejarah terkait digital banking dan apalagi branchless banking sebenarnya sudah terjadi sejak 15 tahun silam. Apa yang kita terima hari ini tidaklah datang ujug-ujug karena regulator utama yakni Bank Indonesia sudah gagas ini sejak 2006 lalu.

Sekalipun saat itu, masih dominan wacana terkait cash less society, namun fondasi berbagai pencapaian e-money di atas telah tercatat panjang dan berurat dalam historis regulasi. Artinya, visi telah hadir lama dari para pemimpin industri keuangan tanah air.

Pijakan penting kemudian tercatat antara lain ketika Peraturan Bank Indonesia (PBI) soal e-money diterbitkan April 2009, kajian branchless banking (Juli 2012), Unit Perantara Layanan Keuangan/UPLK (Juli 2013), dan PBI No.14/2014 tentang Penyelenggaraan E-Money. Simak lini masa historis terkait di bawah ini:

BaganDiagram 1.1 Timeline Branchless Banking di Indonesia (Sumber: Sharing Vision, 2015)

Observasi Masyarakat

Aturan-aturan ini tentunya, antara lain, berangkat dari observasi masyarakat. Sejak tahun 2006, seiring mulai meluasnya ponsel cerdas dipicu oleh BlackBerry dan selanjutnya dikuasai Android dan iPhone, masyarakat dimudahkan lakukan banyak hal, termasuk di bidang keuangan.

Bertambah dengan paket layanan data yang kian kompetitif dan meluas cakupannya, maka mendorong tumbuh-kembangnya transaksi digital dalam sentuhan layar. Hingga kemudian... menggerus kehadiran berbagai layanan eksisting, termasuk layanan kantor kas perbankan (Lihat Diagram 1.2 di bawah).

BaganDiagram 1.2 TimelineBranchless (dok. Dimitri Mahayana)

Banking di Indonesia Situasi ini tak hanya terjadi di Indonesia, sebenarnya. Merujuk data World Bank, penurunan layanan dan eksistensi kantor kas ini terjadi merata di dunia. Bahkan, di negara-negara Skandinavia, angkanya sangat ekstrem (Lihat Diagram 1.3 di bawah).

BaganDiagram 1.3 Penutupan Kantor Kas Perbankan di Dunia (dok. Dimitri Mahayana)

Simultan, layanan terkait kantor kas yakni anjungan tunai mandiri (ATM) juga alami penurunan secara kuantitas. Pun demikian dengan nilai rerata transaksinya pun yang juga surut menurun sekalipun kebutuhan keuangan selalu naik (Simak Diagram 1.4 berikut).

BaganDiagram 1.4 Timeline Branchless Banking di Indonesia (dok. Dimitri Mahayana)

Lantas, apa yang menggantikannya? Tentu saja layanan-layanan keuangan digital berbasis smartphone dan paket internet tersebut. Layanan SMS/mobile banking dan internet banking pada periode sama terus naik secara tajam (Perhatikan Diagram 1.5 berikut).

BaganDiagram 1.5 Pertumbuhan Layanan SMS/Mobile/Internet Banking (dok. Dimitri Mahayana)

Lantas, secara keseluruhan, inilah konstelasi dari perubahan prilaku masyarakat (mager) dilihat dari sisi industri keuangan di tanah air khususnya pada periode tiga tahun terakhir (Simak Diagram 1.6 berikut):

BaganDiagram 1.6 Peta Layanan Keuangan 2018-2020 (Sumber: Sharing Vision, 2020)

Diagram 1.6 di atas terepresentasikan dengan laju sejumlah bank konvensional bergerak ke arah layanan digital banking pada Diagram 1.7. Otomatis, dengan sendirinya, mereka sedang bergerak perlahan/cepat tapi pasti menuju branchless banking.

BaganDiagram 1.7 Peta Layanan Keuangan 2018-2020 (dok. Dimitri Mahayana)

Halaman selanjutnya: meneguhkan digital banking...

Meneguhkan Indonesia

Merujuk data-data awal di atas, penulis memiliki sejumlah pemikiran agar digital banking dan atau branchless banking ini kian teguh posisinya di Indonesia. Layanannya kian sesuai perubahan prilaku masyarakat namun sekaligus juga aman dan handal.

Pertama, terus fokus melakukan perubahan ke digital banking dan atau branchless banking. Fokus ini terkait dengan tiga penekanan yakni optimalisasi jaringan layanan, pemetaan kompetensi, dan timing yang tepat.

Optimalisasi jaringan layanan terkait kepastian perbankan atas alokasi sumber daya dan keahlian berkembang dengan network reorganization. Kompetensi konteksnya keahlian yang diperlukan untuk transformasi dan distribusi harus diidentifikasi sejak awal, perekrutan dan pelatihan harus memenuhi kebutuhan yang sudah ditentukan.

Sementara timing adalah transformasi yang lengkap didukung oleh perekrutan, pelatihan, restrukturisasi, dan mobilitas yang diorkestrasi dengan baik. Singkatnya, organisasi untuk mendukung digital banking jelas memerlukan divisi/bagian khusus untuk menangani layanan tersebut.

Kedua, pastikan selalu penerapan client centric yaitu memahami kebutuhan nasabah serta memberikan pengalaman yang lebih baik kepada nasabah. Hal ini antara lain bisa merujuk testimoni yang diperoleh M-Pesa, sebuah digital banking dari Safaricom, Kenya.

Pada survey pasar berjudul Kenya's independent Financial Sector Deepening Trust (FSD) terhadap 3350 pemangku kepentingan, kesuksesan diraih karena 90% yakin uang yang dimiliki aman dengan M-PESA, 96% menilai M-PESA mudah digunakan, dan 84% ketiadaan M-PESA menciptakan dampak negatif sangat besar.

Praktiknya, Safaricom memillih agen dengan banyak pertimbangan untuk menjamin integritas tinggi pada agen. Kemudian, mereka banyak berkomunikasi dengan user, semisal apabila server lambat, Safaricom akan cepat mengkomunikasikannya pada nasabah.

Safaricom juga tidak pernah berselisih dengan regulator. Safaricom melibatkan bank sentral dari awal karena mereka berprinsip perusahaan harus selalu berusaha mengakomodasi pertimbangan regulator dan industri perbankan.

Ketiga, keterbukaan terhadap inovasi. Sebagaimana dialami tiga bank di Brasil (Banco do Brasil, Caixa federal, dan Banco Postal), mereka mengefektifkan kas negara. Yakni pemerintah menyalurkan dana sosial melalui bank dalam program Bolsa Familia, dengan kebanyakan nasabah bank yang baru adalah penerima dana sosial. Selain itu, pembayaran tagihan merupakan ranah layanan tiga bank yang resmi tadi, sehingga tidak dapat menggunakan agen (toko retail) untuk pengumpulan tagihan.

Selain itu, infrastruktur teknologi retail memungkinkan agen melakukan penyimpanan dan penarikan di cabang bank mana saja termasuk kantor cabang bank lain, sehingga perbankan bisa memberikan layanan kepada agen yang berada jauh dari cabang.

Last but not least, dibutuhkan perubahan budaya organisasi untuk mendukung pengujian dan integrasi teknologi baru. Terkait hal ini, sidang pembaca bisa melihat Diagram 1.8 dan Diagram 1.9 di bawah. Maju terus digital banking dan branchless banking Indonesia!

BaganFoto: dok. Dimitri Mahayana
BaganFoto: dok. Dimitri Mahayana

*) Penulis, Dr. Dimitri Mahayana adalah Dosen STEI ITB & Chief Lembaga Riset Telematika Sharing Vision, Bandung. Bisa dihubungi melalui dmahayana@sharingvision.com.



Simak Video "OCTO Mobile dan OCTO Savers Jadi Senjata CIMB Niaga Hadapi Tren Transaksi Digital"
[Gambas:Video 20detik]