Tiga Kontroversi Mata Uang Kripto
Hide Ads

Memburu Uang Digital

Tiga Kontroversi Mata Uang Kripto

Virgina Maulita Putri - detikInet
Minggu, 21 Feb 2021 12:13 WIB
Ilustrasi Uang Digital Bitcoin
Tiga Kontroversi Mata Uang Kripto (Foto: M Fakhry/detikcom)

3. Ancaman bubble

Mata uang kripto terus memecahkan rekor angka tertingginya dalam beberapa hari terakhir. Bitcoin sebagai mata uang kripto terbesar di dunia pernah mencapai titik USD 52.000 per koin, dan Ethereum yang berada di posisi kedua mencatat angka USD 1.918 atau sekitar Rp 26 juta per koin.

Naiknya angka Bitcoin belakangan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor. Semakin banyak investor insitusi dan ritel yang bergabung, dan perusahaan besar juga ikut menjamah mata uang kripto.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sebut saja Tesla, perusahaan milik Elon Musk, yang membeli sekitar USD 1,5 miliar Bitcoin. Musk memang dikenal sebagai salah satu pendukung Bitcoin yang paling vokal.

Nilai Bitcoin bahkan diprediksi akan terus menggila hingga akhir dekade ini. Co-founder dan partner di Morgan Creek Digital Assets Anthony Pompliano mengatakan Bitcoin bisa menyentuh angka USD 500.000 pada akhir dekade ini.

ADVERTISEMENT

Setelahnya, Bitcoin diprediksi akan bisa mencapai angka USD 1 juta per koin, tapi Pompliano tidak memberikan estimasi waktunya.

"Saya rasa Bitcoin akan perlahan-lahan bangkit untuk menjadi mata uang cadangan global. Saya pikir Bitcoin pada akhirnya akan jauh lebih besar daripada kapitalisasi pasar emas," kata Pompliano dalam wawancara dengan CNBC, seperti dikutip detikINET.

Tapi karena sifatnya terdesentralisasi, alias tidak dikontrol oleh bank sentral, nilai Bitcoin sangat volatil dan mudah naik-turun. Global Market Strategist JPMorgan Nikolaos Panigirtzoglou mengatakan Bitcoin lima kali lebih volatil dibandingkan dengan emas. Dikhawatirkan akan terjadi bubble Bitcoin, setelah itu pecah dan harganya terjun bebas.

"Risiko terbesar adalah impuls aliran yang kami lihat selama beberapa bulan terakhir melambat secara materi dari sini," kata Panigirtzoglou kepada CNBC.

"Khususnya ketika ekonomi dibuka kembali, orang-orang kembali ke kantor, mereka memiliki lebih sedikit waktu untuk jual-beli di rumah, dan akibatnya, ritel, impuls aliran melambat dari sini," pungkasnya.

(vmp/fay)