5G di Indonesia Kok Jalan di Tempat, Kominfo?
Hide Ads

Laporan dari Bucharest

5G di Indonesia Kok Jalan di Tempat, Kominfo?

Adi Fida Rahman - detikInet
Sabtu, 01 Okt 2022 17:45 WIB
Ilustrasi 5G
Foto: shutterstock
Bucharest -

Sudah setahun lebih 5G hadir di Indonesia. Namun jangkauan jaringan penerus 4G ini seperti tidak meluas alias jalan di tempat.

Menanggapi itu, Direktur Jenderal Sumber Daya Perangkat Pos dan Informatika Ismail kurang setuju. Menurutnya penetrasi 5G di Tanah Air masih terus bergerak, tapi dia mengakui perkembanganya lambat.

"Saya nggak bisa bilang jalan di tempat karena sebenarnya bergerak juga. Tapi kecepatannya memang tidak begitu cepat," ujarnya saat ditemui di sela-sela pertemuan diplomasi Indonesia dengan negara mitra pada sidang ITU Plenipotentiary Conference (PP) ke-21 di Palace of Parliament, Bucharest, Rumania.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dijelaskannya teknologi itu berkembang secara alamiah. Artinya semua negara dan operator di dunia melakukan adaptasi terhadap perubahan teknologi.

Kecepatan terhadap adopsi satu teknologi baru itu ada beberapa faktor yang menentukan. Pertama kesiapan infrastrukturnya. Untuk menyiapkan infrastruktur ini dibutuhkan investasi.

ADVERTISEMENT

"Nah ini yang menjadi isu utamanya kebutuhan investasi yang sangat besar," ungkap Ismail.

Lanjut dipaparkan, jika dikomparasi dengan potensi demand dari pendapatan para operator dengan persepsi dibutuhkan ini masih terjadi jurang. Wajar bila para operator sangat berhitung agar investasi mereka dapat cepat kembali.

Di sinilah pemerintah perlu mengambil peran dengan melakukan edukasi market, membantu para operator mengedukasi market dengan menyiapkan ekosistem, sehingga potensi penerimaan teknologi 5G ini menjadi meningkat.

"Dengan terjadinya peningkatan potensi pendapatan 5G, maka operator memiliki percaya diri untuk melakukan investasi dalam jumlah besar," kata Ismail.

Untuk mengedukasi market salah satu yang paling penting adalah mengembangkan use case atau pemanfaatan 5g. Kalau hanya dimanfaatkan untuk penggunaan yang nonproduktif tentu saja demand mungkin besar tapi komitmen untuk mengeluarkan biaya akan rendah.

Masyarakat tentu tak ingin ada kenaikan lonjakan tarif dengan adanya 5G. Maka itu perlu didorong use case yang produktif.

"Ketika 5G digunakan untuk alat kerja atau hal-hal yang bisa menghasilkan sesuatu itulah yang mendukung adanya kualitas demand. Maka pemerintah perlu mendukung peningkatan kompetensi masyarakat dalam memanfaatkan 5G sehingga berpotensi mendapatkan pendapatan. Saya rasa di sinilah peran pemerintah yang perlu lakukan," kata Ismail.

Lanjut dikatakan, 5G itu dapat berkembang lewat dua cara. Pertama melalui kebutuhan korporasi atau B2B, kedua konsumen atau B2C.

Jika melihat negara-negara yang sudah berkembang 5G-nya, mereka memulai dari segmen enterprise atau perusahaan. Oleh karena itu pemerintah mendorong perkembangan 5G di area yang sangat membutuhkan, misalnya industri pertambangan, kesehatan, manufaktur dan lainnya.

Pun begitu edukasi ke masyarakat tidak boleh dilepas. Karena potensinya juga tidak kalah besar tapi memang pendapatnya masih terus tumbuh.

"Masih dalam pertumbuhan tapi belum sampai titik yang optimal. Sehingga itulah yang menyebabkan infrastruktur 5G ini masih agak perlahan," pungkas Ismail.




(afr/asj)